Cukai Rokok Naik, Solusi Terbaik Agar Perokok Tak Lagi Tertarik?
Digondol Maling
Seperti sore hari yang sudah-sudah kala orang tua saya pulang bekerja, saya segera berlari menuju ruang tamu, membuka pintu rumah, lantas membuka pagar. Berbeda dari ekspresi sumringah yang biasanya terpampang di wajah kedua orang tua saya, hari itu mereka hanya menatap saya lesu.
“Warung kopi kita kemalingan. Semua persediaan rokok ludes.”
Saya hanya bisa melongo mendengar ucapan ibu saya kala itu. Bukannya apa, tetapi orang tua saya membuka warung kopi kecil-kecilan di pasar tradisional. Seperti yang namanya warung kopi, selain menjual kopi, kami juga menjual kue-kue hingga rokok—sebab cukup diminati pelanggan di pasar.
Sehari sebelumnya, ibu saya sudah merasa janggal. Ibu saya yang sudah bertahun-tahun bekerja hafal betul siapa pelanggan di warkop dan siapa yang bukan. Hari sebelumnya lagi, ada seorang pria yang datang dan membeli sebatang rokok. Satu hal yang membuat ibu saya risi, pria tersebut sempat melihat-lihat sekeliling warkop kami. Kecurigaan bertambah karena orang tersebut tak pernah datang lagi ke warkop usai pencurian terjadi.
Sumber gambar: dokumen pribadi
Mungkin itu yang dinamakan firasat, tetapi diabaikan karena tak ada bukti konkret. Hanya bermodalkan perasaan tentunya tidak cukup. Esok paginya, saat datang ke warkop, ternyata persediaan rokok yang diletakkan di rak lenyap tak berbekas. Usut punya usut, sang pencuri berhasil masuk ke warkop melalui lantai 3.
Kios yang kami sewa tersebut terdiri dari 3 lantai. Biasanya, aktivitas hanya dilakukan di lantai 1. Kami sangat jarang naik ke lantai 3. Ternyata, di lantai 3, ada sebuah lubang bekas exhaust fan di bagian atas dinding. Karena terdapat lubang, warkop kami pun bisa diakses dari bagian luar. Sang pencuri masuk melalui lubang tersebut. Usai kejadian, ayah saya segera menambal lubang tersebut.
Kerugian yang mencapai dua juta rupiah itu pun kami relakan begitu saja. Satpam pasar acuh-tak-acuh dengan kasus ini. Melapor pada polisi? Semuanya justru merepotkan. Ketiadaan CCTV dan saksi mata sebagai barang bukti membuat laporan kami cukup lemah. Ayah saya memilih legowo, sementara ibu saya hanya mencak-mencak. Sudahlah modal rokok mahal, margin keuntungan tipis, habis dicuri orang, pula.
Orang tua saya sebenarnya tak terlalu suka menjual rokok. Sebagai penjaja, keuntungannya memang sangat tipis. Akan tetapi, banyak orang di pasar yang masih merokok. Demi memuaskan pelanggan (karena tentunya warkop kami juga bersaing dengan warkop-warkop sekitar), akhirnya penjualan rokok tetap dilakukan.
Selama ada permintaan, tentu barang disediakan.
Begitulah kenyataannya. Jumlah perokok di Indonesia terhitung banyak. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, Indonesia meraih peringkat 3 di dunia berdasarkan jumlah perokok. Sebanyak 33% warga Indonesia merokok. Bukan prestasi yang membanggakan, bukan? Lebih mengejutkan lagi, ternyata jumlah perokok usia anak yang berkisar antara 10-18 tahun mencapai 9,1%. Artinya, hampir 1 dari 10 anak merokok. Angka ini pun masih belum menghitung anak-anak di bawah usia 10 tahun yang sudah mencicipi rokok.
Terdapat 33% orang dewasa dan 9,1% anak-anak di Indonesia yang merokok. Selain itu, sungguh disayangkan produksi rokok yang sempat menurun justru perlahan naik kembali.
Sumber gambar: dokumen pribadi
Mencela Penyebab Rokok Merajalela
Rokok hingga saat ini masih menjadi primadona sebagian besar orang. Selepas makan, apa yang dilakukan? Merokok. Apa yang dilakukan jika sedang bosan? Merokok. Kalau mau terlihat keren, apa yang diperbuat? Merokok. Merasa suntuk, lebih baik bagaimana? Lagi-lagi merokok menjadi pilihan. Perilaku ini tak lepas dari gembar-gembor rokok yang dilakukan media. Iklan, promosi, serta sponsor yang merajalela, ditambah dengan harga yang terjangkau tak ayal menjadi racikan pas yang membuat orang-orang terjerumus dalam kecanduan merokok.
Di Indonesia sendiri, media menggambarkan rokok dengan berbagai cara, mulai dari yang cukup gamblang hingga yang bersifat soft selling alias halus sekalipun. Lihat saja iklan di televisi, majalah, atau bahkan baliho yang menggambarkan aktivitas merokok sebagai sesuatu yang keren, gaul, hingga menambah kekerabatan. Walaupun di bungkus rokok terdapat tulisan larangan merokok, bahkan gambar mengerikan tentang orang yang terkena penyakit akibat mengonsumsi rokok, semuanya hanya dianggap lelucon bagi perokok aktif.
Dua contoh iklan rokok dari produsen berbeda. Keduanya memiliki makna yang bagus, padahal terdapat unsur iklan yang sangat halus. Selain itu, iklan-iklan tersebut juga memberikan peringatan tentang bahaya merokok. Catatan: Saya tidak ingin menjatuhkan merek tertentu, gambar di sini murni hanya merupakan contoh.
Sumber gambar: https://i.postimg.cc/cJmBHyFX/3-Iklan-Rokok.jpg
Dampak Merokok, Membuat Hidup Bobrok
Mengutip kembali SEATCA, ternyata intervensi industri rokok terhadap kehidupan di Indonesia termasuk tertinggi di ASEAN sejak tahun 2014. Hal inilah yang membuat program peningkatan kesejahteraan masyarakat cukup sulit mencapai target. Bagaimana mau sejahtera? Uang yang harusnya dipakai untuk membeli makanan sehat, membiayai pendidikan anak, serta melakukan hal penting lainnya justru tergantikan demi kepuasan pribadi: merokok. Akibatnya, angka kemiskinan meningkat tajam.
Selain permasalahan ekonomi, rokok juga menjadi penyebab berbagai penyakit serius, bahkan memicu kematian. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, merokok menjadi salah satu faktor risiko penyakit tidak menular atau yang sering disebut PTM. Beberapa penyakit yang termasuk PTM antara lain penyakit kardiovaskular, paru kronis, diabetes, TBC, infeksi saluran pernapasan, bahkan kanker.
Mengapa kegiatan merokok bisa sampai separah itu? Nyatanya, si langsing berwarna putih-cokelat ini dibuat dari kombinasi sekitar 600 bahan kimia. Parahnya, ketika dibakar, rokok bisa menghasilkan lebih dari 7000 bahan kimia beracun. Bahkan, ada setidaknya 70 kandungan zat kimia dalam rokok yang menyebabkan kanker.
Sebagai seorang cancer survivor, saya merasa miris melihat masih ada 70-an juta orang di Indonesia yang merokok. Saya saja yang selama ini tak pernah merokok, tak berada dalam lingkungan perokok pasif, apalagi masih berusia muda (saat itu berumur 17 tahun) bisa terkena kanker. Apalagi orang dengan risiko tinggi akibat merokok?
Beberapa kandungan di dalam rokok yang berbahaya. Yakin, ingin merokok?
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Virus Covid-19 Menjalar ke Penderita Penyakit Tidak Menular (PTM)
Tahukah sobat jika pasien PTM lebih mudah terjangkit virus Covid-19? Sejak akhir tahun 2019, dunia memang dikejutkan dengan wabah virus corona (novel coronavirus-2019) atau yang lebih sering disebut Covid-19. Saat ini, di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 100 ribu pasien Covid-19 dan masih terus bertambah setiap harinya.
Saat saya mendengarkan siaran Ruang Publik Berita KBR yang bertema “Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi”, sang narasumber yakni Prof. dr. Hasbullah Thabrany selaku Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau menyatakan bahwa rokok memudahkan partikel virus berpindah ke dalam tubuh. Hal ini dikarenakan asap rokok merusak paru-paru, sementara Covid-19 justru membuat kerusakan semakin cepat terjadi.
Ukuran virus Covid-19 yang hanya 1:600 dari ukuran rambut ini kerap berdiam di paru-paru. Adanya virus ini kemudian menyumbat saluran paru-paru yang membuat sang pasien jadi sesak napas. Feni Fitriani yang merupakan Ketua Pokja Masalah Rokok Perhimpunan Dokter Paru Indonesia memaparkan bahwa merokok meningkatkan reseptor ACE-2. Reseptor ini pulalah yang berpengaruh terhadap virus Covid-19. Merokok, terlebih lagi jika dilakukan pada masa pandemi, tentu menjadi sangat berbahaya.
Masalahnya, selama masa pandemi, permintaan rokok justru meningkat.
Solusi Menyetop Adiksi: Menaikkan Cukai Rokok
Pada bagian sebelumnya, saya sudah menyinggung tentang siaran dari KBR tentang cukai rokok yang naik di masa pandemi. Siaran ini mengudara pada 29 Juli 2020 lalu, tetapi masih bisa sobat simak di channel YouTube Berita KBR atau di website resmi KBR. Talkshow yang dipandu oleh Don Brandy selaku moderator menggandeng dua orang narasumber, yakni:
Saya merasa harus ikut mendengarkan siaran ini. Maklum, meskipun tidak pernah merokok, saya masih hidup dari secuil penghasilan rokok yang dijual orang tua. Menyimak siaran selama 1 jam tersebut, berbagai pertanyaan dan rasa penasaran saya pun terjawab tuntas. Ternyata, ada alasan di balik kenaikan cukai rokok di masa pandemi, yakni guna menekan transaksi rokok.
Sejak 1 Januari 2020 lalu, cukai rokok sendiri sudah dinaikkan sebesar 23% serta harga ecerannya naik 35%. Akan tetapi, menurut Prof. dr. Hasbullah, kenaikan cukai rokok belum berhasil mengendalikan konsumsi rokok secara signifikan.
Sepanjang tahun 2019, negara berhasil menerima bea dan cukai hingga Rp 213,1 triliun. Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, bea dan cukai di tahun 2019 terbantu oleh penerimaan dari sektor cukai hasil tembakau yang mencapai Rp164,8 triliun. Hasil cukai produk tembakau mencapai seratusan triliun, artinya berapa banyak batang rokok yang berhasil terjual?
Bisa dibilang, rokok umpama dua sisi mata pisau. Di satu sisi, rokok memberikan dana yang besar bagi negara. Akan tetapi, tak dapat dimungkiri bahwa rokok memberikan dampak berbahaya yang sangat merugikan kesehatan masyarakat. Menurut Dr. Renny Nurhasana, pendapatan negara dari cukai rokok bukan kontribusi industri rokok, tetapi merupakan benda dari perokok yang terpaksa harus dicegah oleh karena negara karena bersifat merusak diri sendiri, kesehatan orang sekitar, serta lingkungan. Pernyataan ini sejalan dengan UU cukai yang menyebutkan bahwa cukai rokok bukan kontribusi yang diberikan oleh industri rokok yang ada, melainkan denda yang dibayar oleh konsumen.
Kenaikan Cukai Belum Mampu Meredam Penjualan Rokok
Efek kenaikan cukai sebesar 23% dianggap belum signifikan. Walaupun kenaikan cukai tersebut menyebabkan harga eceran rokok naik sekitar 35%, nyatanya tingkat konsumsi masih terus bertambah. Hal tersebut terjadi karena daya beli masyarakat masih melampaui harga rokok tersebut. Tidak hanya itu, banyak pula yang mengutamakan rokok dibandingkan kebutuhan lain.
Sebagai contoh, katakanlah seorang pecandu rokok memiliki penghasilan Rp50.000,00 per hari. Anggaplah orang tersebut menggelontorkan dana Rp15.000,00 per hari demi membeli sebungkus rokok. Artinya, orang tersebut menggunakan 30% penghasilannya hanya untuk rokok. Lantas, bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan lain seperti untuk makan, transportasi, belum lagi edukasi anak (bagi yang sudah berkeluarga), dan kebutuhan lainnya?
Lebih jauh lagi, masyarakat bahkan dapat membeli rokok secara eceran. Hanya dengan selembar uang satu hingga dua ribuan, sebatang rokok pun berpindah ke tangan. Intermezzo sedikit, di warkop orang tua saya masih banyak pelanggan yang berutang rokok. Ambil dulu, bayar nanti kemudian. Malah, lama-lama jadinya tidak dibayar dan ‘masa bodoh’ saat ditagih. Parah!
Sumber gambar: dokumen pribadi
Dana Bantuan Tiba, Beli Rokok yang Utama!
Demi membantu perekonomian masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19, pemerintah berupaya memberi bantuan melalui pelbagai program. Salah satunya yakni bantuan per bulan sebesar Rp600.000,00. Seharusnya, nominal tersebut digunakan sebijaksana mungkin untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.
Kenyataannya, rata-rata penerima dana tersebut malah belanja rokok! Penerima Program Keluarga Harapan (PKH) juga masih merokok sebanyak 3 hingga 5 batang per kapita per minggunya. Artinya, rokok sudah menjadi hal utama yang dibeli, barulah kebutuhan lain dipenuhi. Hal ini turut dibahas oleh Dr. Renny Nurhasana yang menyinggung mengenai budaya patriarki di mana sang suami lebih dulu mengambil dana untuk kebutuhan rokoknya, baru menyerahkan sisa uang kepada istri.
Solusi Agar Tak Lagi Teradiksi
Seperti yang saya katakan di awal, orang tua saya menjual rokok karena banyak yang meminati benda tersebut. Seperti dalam hukum ekonomi, semakin tinggi selera konsumen terhadap suatu barang, tentu permintaan terhadap barang tersebut semakin meningkat. Lantas, bagaimana caranya agar membuat orang-orang mengurangi asupan rokoknya, bahkan berhenti sepenuhnya?
Naikkan Cukai Agar Mereka Tak Lagi Memakai
Langkah pemerintah dalam menaikkan cukai rokok sudah cukup tepat. Akan tetapi, sayangnya, kenaikan tersebut dianggap belum signifikan. Jika kenaikan bertujuan untuk mengurangi konsumen rokok, maka kenaikan biaya cukai haruslah berlipat ganda. Contohnya, Prof. Hasbullah menyebutkan bahwa persentase cukai rokok bisa naik 57% dari harga sekarang, atau bisa dibilang menjadi seharga Rp70.000,00 per bungkus. Dengan harga yang benar-benar melambung, tentu konsumen dengan ekonomi rendah kesulitan untuk membeli rokok. Sementara itu, konsumen dengan tingkat ekonomi menengah pun akan pikir-pikir lagi untuk berbelanja rokok, sebab nominalnya pun tidak bisa dibilang kecil.
Sumber gambar: dokumen pribadi
Perketat Pemberian Dana Sosial
Jika pemerintah bisa mendata apakah sang penerima bantuan sosial bebas dari rokok, tentu hal ini akan lebih baik. Akan tetapi, logikanya, jika hanya melalui survei, ada kemungkinan hasil survei tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sementara itu, jika ingin menelusuri satu per satu keluarga pun rasanya tidak mungkin. Di sinilah pemerintah harus cerdik, misalnya dengan memberikan bantuan berupa sembako dan lain sebagainya. Namun, perlu diingat, semua pihak perlu bekerja dengan jujur dan sungguh-sungguh sehingga bantuan benar-benar tersalurkan ke pihak yang membutuhkan.
Menumbuhkan Kesadaran Diri
Tanpa kemauan diri sendiri, sulit bagi seseorang untuk lepas dari candu rokok. Solusinya? Harus dari orang tersebut sendiri yang benar-benar ingin lepas. Jika ada orang-orang di sekitar kita yang merokok, kita tentu perlu mengingatkan mereka. Biasanya, kesadaran diri pecandu rokok baru timbul ketika mengalami kejadian tertentu. Jatuh sakit menjadi salah satu alasannya. Sayangnya, jika sudah sakit akibat rokok, tentu yang tertinggal hanyalah penyesalan.
Cuplikan Kisah Cinta Masa Lalu
Sumber gambar: dokumen pribadi
Dulu, saat masih berusia 20-an, orang tua saya bertemu di tempat kerja. Usai menjalin kasih beberapa waktu, ibu saya mengatakan bahwa beliau tak ingin bersama dengan pria yang merokok. Maklum, ayah saya bisa dibilang seorang perokok akut di masa mudanya. Uniknya, demi meraih cinta ibu saya, akhirnya ayah saya memutuskan berhenti merokok. Hingga saat ini, untunglah ayah saya tak kembali menjadi pecandu rokok. So sweet!
Konklusi: Kenaikan Cukai Rokok Bisa Menjadi Solusi, Tetapi ….
Merokok merupakan aktivitas yang berbahaya. Bisa jadi seseorang tak akan langsung jatuh sakit jika sekali merokok. Namun, sekali-dua kali, lama-kelamaan pun pasti akan ada dampak negatif yang dirasakan. Terlebih lagi, saat ini dunia sedang dilanda virus Covid-19 yang menyerang pernapasan. Merokok bisa meningkatkan potensi fatal jika seseorang terjangkit virus tersebut.
Peraturan dari pemerintah yang menaikkan cukai rokok menjadi langkah yang cukup tepat. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kenaikan yang diberlakukan masih belum cukup untuk menekan pertumbuhan pengguna rokok serta transaksi dari rokok tersebut sendiri. Semakin tinggi cukai rokok dinaikkan, maka harga rokok pun semakin mahal. Jika harga rokok naik drastis, maka diharapkan masyarakat tak lagi merokok.
Semuanya kembali lagi kepada kesadaran diri. Maukah dan mampukah seorang perokok lepas dari rokok? Tidak hanya satu pihak yang patut bertanggung jawab atas hal ini. Semua pihak, baik dari pemerintah, politisi, hingga masyarakat, harus #putusinaja ketergantungan terhadap rokok. Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi?
Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusianaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.
Referensi:
Kantor Berita Radio (KBR) https://kbr.id
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)
Komnas PT https://komnaspt.or.id/siaran-pers/hari-tanpa-tembakau-sedunia-2020/
Hello Sehat https://hellosehat.com/hidup-sehat/berhenti-merokok/kandungan-rokok-berbahaya
DDTC News https://news.ddtc.co.id/apa-bedanya-cukai-rokok-dan-pajak-rokok-simak-di-sini-19708
Lifestyle Bisnis https://lifestyle.bisnis.com/read/20200603/106/1247944/astaga-jumlah-perokok-anak-dan-remaja-meningkat
Our World in Data https://ourworldindata.org/who-smokes-more-men-or-women
0 Comments