Susila dalam Pancasila
Masih teringat di benak saya tentang rutinitas Senin pagi yang dijalani setiap seminggu sekali kala duduk di bangku sekolah dulu. Ketika bel masuk berbunyi, semua murid berbondong-bondong keluar dari kelas. Ada yang langsung berbaris manis, serapi deretan semut yang sedang membawa makanan menuju sarangnya. Ada juga yang tergopoh-gopoh kembali ke kelas, menyadari dirinya belum mengenakan atribut lengkap seperti dasi dan topi.
Pada akhirnya, tujuan kami satu, yakni melaksanakan upacara bendera dengan khidmat. Mendengarkan pidato berisikan petuah dan nasihat dari guru-guru. Menyanyikan lagu kebangsaan dan lagu wajib. Berdoa dengan khusyuk. Tak lupa pula, melafalkan Pancasila dengan lantang.
Jika sebagian besar dari kita hafal isi Pancasila, lantas pertanyaan saya: berapa banyak dari kita yang benar-benar mengerti makna setiap sila? Berapa banyak pula yang meresapi setiap kalimat tersebut, bahkan menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari? Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, dalam pidatonya tahun 1956 menjelaskan Pancasila sebagai the five guiding principlees of our national life. Kelima sila tersebut diringkas menjadi kepercayaan pada Tuhan, kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan. Terdapat nilai-nilai kesusilaan dalam Pancasila yang membimbing warga Indonesia dalam bermasyarakat.
Keadilan Sosial yang Krusial
Sebelum pembahasan menjadi terlalu melebar, mari fokuskan diri pada sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengamalan sila ini berupa toleransi dan menjunjung tinggi norma nondiskriminatif, menghargai hak asasi manusia, serta adanya persamaan derajat. Segala ras, suku, agama, usia, maupun jenis kelamin dipandang sama rata. Keadilan ini berlaku untuk seluruh aspek kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, tak terkecuali di bidang pendidikan.
Aksi Diskriminasi Edukasi
Pada kenyataannya, keadilan sosial belumlah diterapkan secara sempurna di bumi kita ini, tak terkecuali di tanah air Indonesia. Aksi diskriminasi masih sering terjadi, yang kemudian mengarah kepada perempuan. Bahkan, diskriminasi ini terbalut dalam doktrin-doktrin maupun adat istiadat yang sudah melekat erat di dalam batin. Parahnya lagi, pelaku diskriminasi bukan hanya dilakukan oleh orang lain, melainkan juga diri sendiri!
Pernahkah sobat mendengar kalimat seperti ini?
“Ah, ngapain punya jabatan tinggi di kantor, nanti ujung-ujungnya masuk dapur juga ….”
“Mana bisa cewek masuk sekolah pilot? Cewek itu kerjaannya jadi pramugari!”
“Malas ah sekolah tinggi-tinggi, nanti juga nikah dan bakal sibuk ngurusin anak.”
Kalimat-kalimat di atas masih menjadi mindset mayoritas warga Indonesia, tak terkecuali dari perempuan itu sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa pendidikan bukan merupakan suatu hal yang penting, sebab wanita pada nantinya akan melahirkan serta membesarkan anak. Wanita dianggap lebih inferior jika dibandingkan dengan pria.
Hal ini tak lepas dari sejarah masa lampau peradaban manusia. Kegiatan manusia zaman masa pra-aksara, tepatnya mulai dari masa berburu dan meramu, bercocok tanam, hingga perundagian sudah memiliki diversifikasi tanggung jawab. Contohnya, pada masa berburu dan meramu, kaum perempuan menjaga anak dan mengumpulkan buah-buahan dari hutan. Sementara itu, kaum laki-laki berburu hewan liar.
Berlanjut ke masa saat manusia sudah mengenal aksara, secara global wanita masih mendapatkan diskriminasi untuk belajar. Pendidikan hanya diperuntukkan bagi perempuan yang berada di dalam silsilah keluarga bangsawan maupun hartawan. Di Indonesia sendiri pun, kita pernah mempelajari kisah tokoh perempuan yang memperjuangkan emansipasi wanita. Sebut saja mulai dari R.A. Kartini yang kerap menentang diskriminasi perempuan, Dewi Sartika yang mendirikan sekolah perempuan pertama di Indonesia, Roehana Kudus sang pendiri surat kabar wanita pertama di Indonesia, dan masih banyak lagi.
Jumlah Tunaaksara Ternyata Mayoritas Wanita
Pada masa lalu, wanita dianggap hanya boleh bertugas mengurus dan menjaga anak, sehingga sekolah bukan menjadi hal yang wajib dilakukan, bahkan pada awalnya sempat bersifat tabu. Akibatnya, jumlah wanita teredukasi berada di bawah pria. Hingga saat ini, hal tersebut masih terjadi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah laki-laki tunaaksara di Indonesia pada tahun 2018 yakni sebanyak 1,1 juta orang atau mencapai 33%. Sementara itu, jumlah tunaaksara perempuan sebanyak 2,2 juta orang atau bahkan mencapai 66%!
Tahukah sobat bahwa data tersebut dinominasi oleh masyarakat berekonomi miskin? Lebih mengejutkan lagi, mayoritas wanita yang tunaaksara atau tak mengenal huruf tersebut ternyata masuk dalam kategori ibu-ibu! Coba kita bayangkan, ternyata masih banyak ibu-ibu yang mengurus anak ternyata tidak berpendidikan.
“Loh, Memangnya Apa Gunanya Ibu-Ibu Berpendidikan?”
Selama ini, kebanyakan memandang pendidikan dengan peran wanita sebagai hal yang terpisah. Coba lihat prespektif lain. Mengapa kita tidak memandangnya sebagai satu-kesatuan? Jika memang wanita memiliki anak dan bertugas mengurus anak, apakah lantas pendidikan tak lagi penting? Bukankah justru semakin baik jika ‘ibu yang mengurus anak’ tersebut merupakan orang berpendidikan yang mampu menuntun perkembangan sang buah hati ke depannya?
Memiliki anak tak menghalangi kita sebagai wanita untuk mengejar pendidikan tinggi. Begitu pula sebaliknya, berpendidikan tinggi tidak serta-merta berarti anak jadi tak terurus. Mari ambil contoh beberapa wanita yang sukses menyeimbangkan kehidupannya, baik untuk urusan pendidikan hingga keluarga.
Beberapa Figur Wanita Sukses di Indonesia dalam Berbagai Bidang
Fungsi Edukasi yang Memperkuat Peran Perempuan
Edukasi Membentuk Pribadi
Edukasi tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga secara tak langsung turut memengaruhi kepribadian. Dengan wawasan yang semakin luas, maka pola pikir seseorang pun akan berubah. Kita akan terbiasa berpikir secara kritis dan logis dalam memaknai segala fenomena yang ada. Dengan begitu, kita sebagai perempuan dapat mengambil keputusan secara bijaksana dan menjadi wanita tangguh.
Edukasi Menjadi Bekal Mengasuh Anak
Anak adalah cerminan orang tuanya. Lebih spesifik lagi, orang tua akan menjadi role model bagi sang anak. Dengan didikan yang baik, tentu akan tercipta generasi penerus bangsa yang berkualitas. Namun, di balik terbentuknya seorang anak yang sukses, ada sosok orang tua—terutama ibu yang mendukung dan mengayomi.
Kalimat tersebut bukan sekadar hipotesis atau spekulasi belaka. Hal ini dibuktikan dalam penelitian berjudul Relationship Between Education Level Mother with Toddler Development Age 3-5 Years pada tahun 2014 yang dibuat oleh Waqidil H. serta Adini CK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perkembangan balita. Tingkat pendidikan ibu berbanding lurus dengan pengetahuan akan perkembangan yang normal untuk balita.
Edukasi Meningkatkan Kesejahteraan Diri
Wanita cerdas yang teredukasi dapat mengelola keuangan dengan baik. Ketika lajang dan sudah menikah, tentu pos-pos pengeluaran jauh berbeda. Dengan edukasi yang baik, perempuan jadi mengerti soal ekonomi. Mengatur keuangan keluarga membutuhkan berbagai perhitungan. Tidak hanya mengatur, wanita juga perlu gencar membaca kondisi pasar secara keseluruhan. Dengan begitu, kita dapat mengantisipasi dan mengatasi segala persoalan yang terjadi.
Edukasi Menciptakan Kesempatan Berkarier Lebih Tinggi
Edukasi tak terelakkan lagi menjadi salah satu syarat utama dalam berkarier. Coba lihat lowongan pekerjaan yang ada. Rata-rata perusahaan memberi batasan minimal pendidikan bagi pendaftar, misalnya SMA sederajat, diploma, hingga sarjana. Edukasi menjadi penting, sebab ada hal-hal tertentu yang hanya bisa diraih jika menjalani proses pendidikan.
Bagaimana urusannya jika kita sebagai wanita tidak ingin bekerja kantoran, tetapi ingin mengembangkan lini bisnis sendiri? Apakah pendidikan jadi tidak berarti? Jawabannya bisa ditebak. Tentu pendidikan masih penting. Justru, jika sudah terdidik, kita selangkah lebih maju, sebab kita punya fondasi yang kuat untuk berkarya.
Edukasi Membantu Memberdayakan Masyarakat Sekitar
Peran perempuan tidak hanya sebatas untuk diri sendiri, suami, maupun anak. Interaksi selalu terjadi dengan orang lain, siapa pun itu. Mau tak mau, sebagai perempuan, kita harus bisa menempatkan diri di posisi yang baik dalam lingkungan masyarakat. Perempuan pun bisa menjadi penggagas dan membawa perubahan positif di lingkungan sekitarnya.
Ada banyak langkah kecil yang bisa dilakukan untuk memberi dampak yang luas. Contohnya, kita mengedukasi ibu-ibu bagaimana caranya mengelola limbah sampah rumah tangga. Jika dulunya tong sampah umum dipenuhi sampah yang campur aduk, kini sampah sudah dipisahkan menjadi sampah organik dan anorganik. Tugas sang petugas sampah pun diringankan. Melalui langkah seperti seminar, pelatihan, maupun penyuluhan, masyarakat juga ikut dapat berkembang.
Setuju banget, masih banyak mindset² yang salah tentang perempuan, yang akhirnya malah membuat perempuan seperti “terbatas”, padahal semua orang punya hak untuk memilih menjadi apa, baik dipekerjaan atau dirumah tangga. Banyak juga kok istri yang membantu suaminya mencari nafkah, dan gaada yg salah dgn itu 👍🏻
Iya, selama si perempuan mampu, kenapa tidak?
Thanks sudah berkunjung 😀
Bagaimana pun saya tetap percaya pepatah lama bahwa seorang perempuan yang nantinya akan menjadi seorang Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, jika ia mendidik dan mempersiapkan anak-anaknya dengan baik, maka ia akan menciptakan generasi terbaik. Maka, untuk urusan pendidikan, mutlak dan wajib dimiliki dan dirasakan oleh siapa pun, tak pandang gender.
Semangat terus, Perempuan Indonesia.
Good luck, Mbak Vivi.
Salam hangat. 🙂