Vonis yang Tak Manis
“Kamu terkena kanker. Jenis kanker darah limfoma stadium lanjut. Kamu harus kemoterapi sebanyak 8 siklus. Satu siklus terdiri dari dua kali kemoterapi, jadi total kamu akan menjalani 16 kali kemoterapi.”
Kira-kira seperti itu penjelasan wanita paruh baya berjas putih yang tengah duduk di hadapanku kala itu. Ruangan kecil dengan papan nama dokter spesialis darah yang terpampang di depan pintu menjadi saksi bisu perjalanan hidupku. Enggak kayak pemeran utama di novel-novel yang langsung menangis keras mendengar vonis dokter, aku cuma bisa terdiam.
Diam, tapi terluka. Tak bersuara, tapi menjerit dalam hati. Pertanyaan berputar-putar di benakku. Mengapa? Kenapa harus aku, gadis yang usianya masih belasan tahun, yang rasanya baru aja memulai kehidupan? Kuliah baru jalan semester kedua, teman pun baru mulai kenal, bahkan rasanya aku belum sempat mengembangkan diri.
Hidup rasanya enggak adil. Saat semuanya pada sibuk kuliah, aku harus menjalani kemoterapi tiap dua minggu sekali. Pada waktu itu, keadaanku enggak memungkinkan untuk ikut kuliah. Alhasil, karena enggak pernah datang ke kelas lagi, semua mata kuliah semester duaku mendapat nilai E. IPK langsung merosot tajam. Mau bagaimana lagi? Universitas tak punya kebijakan yang bisa meringankan beban seorang mahasiswa yang tiba-tiba sakit parah.
Gara-gara vonis tak manis ini, hidupku berubah 180 derajat. Dari yang dulunya dikenal sebagai mahasiswa berprestasi karena sempat mengharumkan nama universitas di ajang perlombaan nasional, justru berubah jadi mahasiswa yang ‘sisa nama saja’. Dari yang awalnya hidup teratur, mendadak merasa hidup tak lagi ada gunanya.
Rasa Insecure yang Mulai Muncul
Semenjak sakit, rasa insecure di dalam diriku mulai menumpuk. Awalnya, hanya keluarga besar dan sahabat-sahabatku yang tahu tentang kondisi kesehatanku. Sementara itu, mayoritas teman kuliah serta dosen tak ada yang tahu-menahu tentang penyakit yang singgah di tubuhku. Mereka hanya tahu aku sakit, itu aja. Aku pikir, enggak ada gunanya mendadak memberi tahu semua orang. Masa’, aku harus membuat pengumuman? Hei, aku sakit kanker, loh!
Mendadak, media sosial rasanya menjadi sesuatu yang toxic bagi aku. Melihat bagaimana orang lain bersenang-senang, sibuk ikut kegiatan ini dan itu, bahkan memamerkan prestasi yang membanggakan, membuat aku merasa terpuruk. Melihat foto teman yang cakep aja, aku langsung insecure. Gimana enggak? Saat cewek-cewek seumuranku pada glow up, aku hanya bisa melihat pantulan makhluk kurus kering berbekas luka dengan kepala gundul di cermin. Saat itu, aku selalu membandingkan diriku dengan orang lain. Semakin aku membandingkan diri sendiri dengan orang lain, aku justru semakin tertekan.
Pada masa itu, aku jadi mengurung diri dari lingkungan sekitar. Karena pasien kemoterapi punya imunitas yang rendah, aku hanya berada di rumah setiap hari. Tak ada istilah hang out dengan teman. Selain itu, aku pun tak begitu aktif di media sosial karena merasa tidak nyaman. Aku menenggelamkan diri di balik hiburan seperti membaca novel, menonton drama, hingga bermain game. Saat itu, aku berkubang dalam kemalasan. Pikiranku saat itu, aku hanya ingin bersenang-senang. Toh, aku tak tahu bisa hidup sampai kapan.
Terpaksa Berbagi Rasa
Setelah menghabiskan waktu dari Mei hingga Desember 2019 untuk kemoterapi sebanyak 14 kali, aku pun melakukan PET scan, sebuah metode untuk mengetahui persebaran sel kanker. Seharusnya, scan ini dilakukan usai kemoterapi ke-16. Akan tetapi, tubuhku kembali merasa tak nyaman. Kakiku yang dulunya bengkak akibat kanker lagi-lagi membesar. Rasa nyeri kanker pun kembali muncul di area perut dan punggung.
Aku tak habis pikir, bahkan marah kepada diri sendiri, kepada semua orang, kepada nasibku yang seperti ini. Kenapa udah kemoterapi belasan kali, tapi sel kanker belum mati-mati juga? Bahkan, hasil scan menunjukkan kalau sel kankerku semakin banyak dan kembali menyebar. Kali ini aku harus kemoterapi ulang dengan obat lain yang lebih ampuh, tak lupa ditambah dengan transplantasi sumsum tulang. Pengobatan harus dilakukan secepatnya. Biayanya mencapai lebih dari setengah miliar.
Pikiranku langsung berputar ke satu hal: uang sebanyak itu, dapat dari mana? Itu rasanya detik-detik terburuk dalam hidupku—selain saat vonis, tentunya. Aku sudah siap menjalani kemoterapi, aku siap menjalani pengobatan sesulit dan semenyakitkan apa pun. Namun, untuk hal begini, aku enggak mampu menghadapinya sendiri.
Keluargaku pun memutuskan untuk menggalang dana. Satu berita yang mengejutkan semuanya. Masih kuingat, hari itu aku membagikan link penggalangan dana ke seluruh akun sosial mediaku. Mulai dari guru-guru, teman masa sekolah, hingga orang-orang lainnya, semua langsung kaget. Mereka turut bersedih dan mendoakan yang terbaik. Atas bantuan orang-orang baik, penggalangan danaku dengan cepat tercapai. Aku pun bisa melanjutkan pengobatan. Seketika aku tersadar, orang-orang bukannya enggak peduli, tapi lebih tepatnya enggak tahu-menahu tentang persoalan kita.
Mulai Berubah, Hidup Jadi Lebih Indah
Karena semua orang tahu bahwa aku sakit, itu artinya aku tak perlu lagi menyembunyikan apa yang terjadi. Sebelumnya, aku selalu tertekan saat berinteraksi dengan orang. Saat ada kawan lama yang bertanya kabar, aku cuma bilang baik-baik aja. Jawaban yang singkat, padat, dan jelas. Aku pikir, enggak perlulah menjawab sebuah apa kabar dengan jawaban sesungguhnya: hei, aku lagi enggak baik-baik aja! Aku kena kanker, udah berhenti kuliah, jadi sekarang sibuk kemoterapi secara rutin dan aku cuma malas-malasan untuk mengisi hari-hari.
Sejak semua orang mengetahui kondisiku, aku mulai mencoba lebih terbuka. Aku mulai rajin update kondisi kesehatanku melalui media sosial, bahkan juga mulai aktif menulis. Hari-hari yang awalnya kuisi untuk hal tak berguna, kini kuubah menjadi hobi yang produktif.
Aku pun tak lagi begitu ambil pusing dengan kehidupan orang lain. Kesehatan fisikku udah buruk, aku enggak mau kesehatan mentalku semakin terpuruk. Akhirnya, aku mutusin untuk baca-baca lebih banyak buku dan artikel motivasi, mental health, sekaligus self improvement agar aku bisa menjadi versi yang lebih baik dari sebelumnya. Ada beberapa kenalanku yang care banget, sampai ngasih aku buku sesuai topik tersebut. Ada banyak perubahan yang kulakukan demi berpikir jernih kembali.
Aktif Mengurai Pikiran Negatif
Sejak sakit, aku memang jadi insecure dan terus-menerus berpikiran negatif. Padahal, terlalu banyak pikiran negatif bisa merusak hidup kita, loh. Maka dari itu, semua pikiran negatif ini harus kita olah dan telaah. Banyak yang mengatakan bahwa kita harus membuang pikiran negatif, itu memang benar. Namun, yang terpenting, kita harus bisa menelaah akar dari pikiran negatif tersebut dan bagaimana cara mengatasinya.
Mengikuti tip dari Satu Persen, sebuah startup yang fokus di bidang mental health sekaligus self improvement, kita harus menantang pikiran negatif sendiri. Jika pikiran negatif merupakan sisi pro, maka berpikirlah secara kontra. Contoh nyatanya, saat aku pergi ke luar rumah dalam kondisi botak (tentunya aku pake kupluk biar enggak memicu rasa penasaran orang), tetap aja aku merasa orang-orang tuh pada liatin terus. Padahal, wajar, bukan, saat ada orang yang berjalan di sekitar kita, secara otomatis kita menoleh ke orang tersebut? Jadi, rasa ketidaknyamananku itu bersumber dari pandanganku sendiri, bukan pandangan orang lain yang sesungguhnya.
Selanjutnya, kita harus membatasi waktu di mana pikiran kita boleh dilingkupi oleh perasaan negatif. Kita boleh larut dalam pikiran negatif, tapi jangan biarkan pikiran itu terus-menerus ada dalam benak kita. Beri batasan waktu yang jelas. Misalnya, selama 10 menit ini, kita boleh mikirin tentang hal-hal yang membuat kita enggak nyaman. Setelah waktu tersebut berlalu, kita harus move on dan ngerjain hal lain. Jangan sampai 24/7 mikirin hal yang sama. Life must goes on! Memang hal ini cukup sulit, tapi bisa diakali dengan cara melakukan kegiatan lain. Semakin kita berdiam diri, semakin mudah pikiran negatif berseliweran di otak.
Nah, kalau kita udah berhasil keluar dari penjara pikiran negatif, kita bisa menulis hal-hal yang disyukuri sebagai langkah selanjutnya. Belakangan ini, aku membuat jurnal harian untuk melacak mood yang kumiliki. Aku juga menuliskan secara rinci kejadian apa yang membuatku merasa senang, sedih, atau bahkan marah. Memang, kita harus meluangkan waktu khusus untuk menulis, tapi aku rasa ini worth it untuk dilakukan.
Langkah terakhir adalah dengan fokus pada kelebihan kita. Pikiran negatif membuat kita fokus pada kelemahan yang kita miliki. Jangan terus memikirkan kenapa kita kurang kaya, kurang pintar, kurang hebat, kurang sukses, dan kurang-kurang yang lainnya. Lawan dengan pikiran positif. Apa kelebihan yang kita miliki? Sekalipun kita pernah gagal, selalu ada kesempatan untuk bangkit. Jangan terpuruk dengan keadaan sekarang, tapi jadikan itu sebagai patokan untuk lebih baik di masa depan.
Bersyukur, Kunci Fisik dan Psikis Akur
Kapan terakhir kali kamu bersyukur? Aku rasa, sebagai manusia, jauh lebih mudah bagi kita untuk bersungut-sungut daripada bersyukur. Ngantre lama di kasir saat beli barang? Cemberut. Keinginan tak terpenuhi? Ngambek. Teman datang telat saat meet up bareng? Ngomel. Nilai ulangan enggak sesuai harapan? Bad mood seharian.
Coba kita ambil perspektif lain dalam hidup. Ngantre lama di kasir saat beli barang? Coba untuk bersyukur, kita masih bisa afford barang tersebut. Keinginan tak terpenuhi? Coba telaah lagi, apakah hal tersebut benar-benar penting ataukah hanya demi memuaskan keinginan sesaat. Teman datang telat saat meet up bareng? Bersyukur, teman yang kamu sayangi itu masih diberi kesehatan sehingga bisa menemui kamu. Nilai ulangan enggak sesuai harapan? Bersyukur karena seenggaknya kamu udah berusaha dan jadikan itu sebagai pembelajaran.
Ternyata, bersyukur bahkan berbanding lurus dengan kesejahteraan kita, baik fisik maupun mental. Beberapa waktu lalu, aku habis baca artikel dari Satu Persen. Artikel tentang bersyukur tersebut menyatakan kalau berdasarkan penelitian, orang yang bersyukur menunjukkan optimisme dan merasa hidup menjadi lebih baik. Maka dari itu, dengan bersyukur, kita melepaskan perasaan negatif yang ada di diri kita. Sebaliknya, kita justru fokus dengan hal-hal yang bersifat positif. Kalau punya pikiran positif, tentu kesejahteraan diri pun meningkat. Tadi, aku udah bahas tentang bagaimana mengurai pikiran negatif. Jika sudah, jangan lupa untuk bersyukur!
Your Mental Health is Important, too…
Selama ini, kita cenderung abai pada kesehatan mental. Stigma negatif melekat pada kata mental. Mengalami masalah pada mental membuat kita dianggap lemah, lebay, berlebihan, dan lain sebagainya. Tak jarang, orang jadi malu dan tertutup untuk urusan mental. Mereka berpikir, lebih baik dipendam daripada diceritakan. Mungkin mereka berpikir, masalah mental bisa berlalu dengan sendirinya.
Kenyataannya, semakin lama kita memendam sesuatu, semakin bahaya pula hal tersebut. Ingat peribahasa, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit? Anggap yang ditimbun itu skill, bisa jadi kita yang awalnya noob berubah jadi expert. Oke banget, bukan? Tapi, gimana kalau yang ditimbun itu pikiran dan perasaan negatif? Kita akan tiba di suatu titik, di mana kita tak lagi mampu menahan beban dari ‘bukit negatif’ tersebut.
Jika kita tiba di titik tersebut, bukan tak mungkin kita semakin tak bersemangat untuk hidup. Karena pikiran negatif, sifat dan sikap kita pun berubah karena kita memandang dunia penuh dengan hal-hal yang buruk. Tak jarang, hal ini yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri.
Kalau kita selalu mengalami pikiran negatif, lantas tak sanggup lagi menjalani hari-hari, kita sebenarnya butuh bantuan. Cara pertama adalah dengan bercerita dengan orang-orang terdekat yang kita percayai. Bisa kepada saudara, sahabat, atau juga pasangan. Namun, jika kamu merasa butuh privasi lebih, atau merasa mereka kurang bisa memberikan kamu respons yang sreg, kamu bisa menghubungi layanan profesional.
Oh ya, tadi aku udah mention tentang Satu Persen. Awalnya aku tahu lembaga ini dari video YouTube dan artikel-artikel yang rutin mereka post di website mereka. Mereka sering membagikan materi yang menurut aku relate banget dengan kehidupan kita saat ini, mulai dari perihal pemahaman diri, kesehatan mental, hubungan, hingga filosofi.
Ternyata, selain mengedukasi kita dengan berbagai konten, Satu Persen pun menyediakan layanan mentoring serta konseling. Jika mentoring lebih mengarah pada sesi konsultasi masalah sehari-hari, maka konseling lebih mendalam. Dengan mengikuti konseling, kita bisa berkonsultasi dengan psikolog terbaik untuk menyelesaikan masalah psikologi kita. Jangan takut untuk membicarakan masalah depresi, anxiety, bipolar, trauma, dan yang lainnya.
#HidupSeutuhnya, Terima Diri Apa Adanya
Sekarang, aku sudah sembuh dari sakit fisik. Setelah melalui rangkaian kemoterapi dan transplantasi sumsum tulang yang tak hanya menguras dana, waktu, tetapi juga emosi, aku bisa kembali menata kehidupan. Memikirkan apa yang kira-kira orang lain pikirkan memang punya sisi positif, tetapi juga bisa berdampak negatif. Orang yang berpikiran positif tentu akan memandang hal tersebut sebagai pelecut diri untuk berkembang lebih baik. Namun, jika hanya memikirkan aspek negatifnya, tentu mental kita tak akan tenang.
Aku mencoba untuk menerima diri apa adanya. Jika kita tak menerima diri sendiri, bagaimana mengharapkan orang lain menerima kita? Maka dari itu, aku mencoba untuk memahami diriku sendiri. Orang lain boleh saja tahu apa yang kita lalui, tapi kita sendiri yang mengalaminya. Ubah penyesalan menjadi poin-poin yang membuat kita jadi lebih baik. Seburuk apa pun hal yang kita jalani, pasti ada hal yang bisa kita syukuri.
Jadi, bagaimana denganmu? Udah siap buat hidup seutuhnya?
Tulisan ini diikutsertakan dalam Satu Persen Blog Competition. Pihak Satu Persen tidak bertanggung jawab atas isi dari artikel.
semangat terus yaaaa kamu, makasih udah berjuang selama ini dan menjadi sosok yang kuat
makasih 🙂 kamu juga semangat terus ya 😀
it must be hard living with hardship. I hope you’re healthy in this pamdemic.
Thank you, I hope you’re healthy too 😀
Halo Vivi!
Semangat selalu ya!
Thank you, kamu juga semangat ya 😀
i love you sayangggggg
semangat terus ya berjuang