Masa Lalu yang Mengharu-Biru
Hidup tidak selalu sejalan dengan apa yang kita inginkan. Bukankah hal tersebut betul adanya? Selalu saja ada masalah yang datang silih berganti, entah itu masalah seberat atau seremeh apa pun. Kata orang, hidup itu berwarna. Bukan ‘hidup’ namanya jika tak naik-turun seperti bianglala—atau lebih ekstremnya, roller coaster.
Saya pun kerap mengalaminya. Tak hanya satu kejadian saja, tetapi di dalam hidup ada banyak hal yang pernah saya lalui. Hal-hal yang menguras emosi. Kejadian-kejadian yang tak hanya menghadirkan kesedihan, kemarahan, tetapi juga rasa penyesalan yang mendalam. Saya harap, dengan sedikit bertukar sudut pandang, kita bisa saling lebih mensyukuri hidup satu sama lain. Lebih bersabar mengarungi hidup, menghadapi setiap problem yang ada. Ini dia sekelumit kisah dalam bahtera hidup saya.
Ayah dan Pen di Kakinya
Kisah ini terjadi belasan tahun lalu, saat saya masih dalam wujud bayi yang polos dan lucu. Namanya juga masih kecil, saya hanya mendengarkan kisah ini dari kedua orang tua saya. Meskipun kejadiannya sudah lama, hal tersebut masih membekas di benak ayah saya. Begitu pula dengan dampaknya, masih menghantui kami hingga detik ini.
Dulu, ayah saya suka berburu tupai. Kalau zaman sekarang, saya pikir hobi beliau itu sudah anti-mainstream. Akan tetapi, belasan tahun lalu, berburu hewan masih menjadi hal lumrah. Beliau pun beberapa waktu sekali pergi berburu tupai bersama teman-temannya ke hutan belantara yang ada di luar kota.
Sepulangnya dari berburu, Ayah selalu membawa beberapa ekor tupai. Daging tupai itu diramu sedemikian rupa menjadi santapan lezat (walaupun saya tidak ikut makan karena masih bayi, haha). Intinya, Ayah sudah biasa melakukan aktivitas ini. Jadi, Ibu pun sudah hafal kira-kira jam berapa Ayah pulang.
Berbeda dengan biasanya, hari itu tak ada deru motor Ayah yang terdengar dari kejauhan. Ibu yang sudah menunggu pun semakin lama semakin was-was, sebab malam semakin larut. Usai lama diombang-ambingkan oleh kekhawatiran, dering telepon mendadak berbunyi. Kabar buruk. Ayah mengalami kecelakaan.
Kecelakaan tersebut cukup parah, membuat kaki Ayah saya harus segera dioperasi. Keuangan orang tua saya yang saat itu tidak bisa dibilang mapan pun membuat mereka kelimpungan dalam mencari pinjaman. Usai mencari ke sana kemari, untung ada yang bersedia menalangi, sehingga operasi pun bisa dilakukan.
Apa cerita berakhir sampai di situ? Tentu tidak. Beberapa waktu kemudian, pen (pen operasi, bukan pen untuk menulis, ya!) yang dipasang di kaki Ayah harus dikeluarkan. Butuh dana lagi untuk melakukan prosedur tersebut. Karena kekurangan dana, Ayah pun tidak melakukan prosedur tersebut. Hari demi hari berlalu, tahun demi tahun berganti. Hingga kini di usia Ayah yang menginjak kepala lima, pen tersebut masih ada di dalam lututnya. Terkadang Ayah mengeluh kakinya yang dulu dioperasi itu terasa nyeri. Sayang, nasi sudah jadi bubur. Pen sudah melekat erat dengan daging dan tulang di tubuh. Mau dikeluarkan malah sudah tidak bisa. Jadilah Ayah hidup bersama dengan pen di kakinya.
Siang Berpesta, Malam Menderita
Kisah kali ini terjadi saat saya duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu, kondisi ekonomi kami sedang tidak baik. Bisa dibilang kami hidup pas-pasan. Tak seperti anak-anak lain yang liburan ke luar negeri, luar kota, atau paling tidak, pergi ke mall, lah, saya dan saudara biasa hanya bermain di rumah.
Namun, hari itu berbeda, sebab kami sedang memperingati hari raya. Namanya hari raya, sudah pasti biasanya orang-orang akan saling berkunjung satu sama lain, bepergian ke luar rumah. Kami pun begitu. Bisa dibilang, selama seharian kami asyik bercengkerama dengan sanak saudara. Suasana riuh dan sukacita begitu terasa.
Malamnya, kami bersiap untuk pulang. Kebetulan ada keluarga besar kami yang berbaik hati mengantarkan kami pulang. Jadinya, kami bisa pulang bersama-sama menggunakan mobil milik keluarga kami tersebut. Sementara itu, ayah saya memacu kendaraan ke rumah terlebih dahulu.
Di perjalanan, kami mendapat telepon dari ayah. Beliau bilang, jangan kaget kalau tiba di rumah. Kami jadi bertanya-tanya, ada apa? Beliau enggan menjelaskan, tetapi ibu saya mulai punya firasat buruk. Logikanya, kalau itu adalah surprise, harusnya tidak usah pakai telepon segala, bukan?
Benar saja. Ketika pulang, kami terkejut melihat rumah yang sudah porak-poranda. Harta kami yang tidak seberapa itu habis tak bersisa. Entah siapa pencuri keji yang tega menguras uang dan barang berharga di rumah kami. Ibu langsung menangis tersedu-sedu. Saya yang masih kecil pun berusaha mencari sisa-sisa uang yang mungkin masih ada. Semua hilang. Uang lima ribuan yang ada di tas sekolah saya saja ikut lenyap tak berbekas. Untungnya, keluarga yang saat itu mengantar kami pulang, memberikan kami sedikit uang untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Divonis Kanker Darah, Membuatku Hampir Menyerah
Dari beberapa kisah sulit yang pernah terjadi dalam hidup saya, bisa dibilang inilah yang paling menguras waktu dan emosi. Di saat usia baru menginjak 17 tahun, tubuh saya mulai terasa tidak fit. Demam menggigil setiap malam, nyeri bertubi-tubi di area tubuh tertentu, hingga munculnya benjolan di beberapa bagian tubuh membuat saya tak lagi bisa fokus menjalani aktivitas sebagai pelajar.
Ketika menjalani kemoterapi ke-14, dana yang tersisa sudah hampir habis. Bantuan dari keluarga pun telah terpakai. Awalnya, kemoterapi dijadwalkan sebanyak 16 kali. Akan tetapi, setelah belasan kali melakukan pengobatan, anehnya kondisi saya malah bertambah parah. Saya harus dikemoterapi ulang dengan obat yang lebih mahal dan melakukan transplantasi tulang.
Puncaknya, pada awal tahun 2019, kondisi fisik saya sampai di tahap terparah. Kala itu, saya bahkan tak bisa terbangun dari tempat tidur. Bernapas saja mulai terasa sesak. Percobaan pengobatan tradisional yang selama itu dijalani ternyata tak membuahkan hasil manis. Pada akhirnya, saya pun menjalani pengobatan secara medis.
Hampir saja saya menyerah menghadapi kemelut tersebut. Dana sudah habis-habisan, harus bagaimana? Orang tua saya bukannya dalam sehari-dua hari bisa mengumpulkan uang ratusan juta rupiah. Maka dari itu, kami pun melakukan penggalangan dana. Suatu mukjizat, dana yang dibutuhkan bisa terkumpul. Saya pun bisa melanjutkan pengobatan.
Sedia Payung Sebelum Hujan
Mengalami masa-masa darurat tersebut, saya sadar bahwa kita butuh pegangan. Akan tetapi, tentu kita tidak bisa serta-merta menunggu uluran tangan orang lain. Jangan justru menjadi ‘beban’ orang-orang sekitar, kecuali situasinya sangat mendesak. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berjaga-jaga. Kalau bisa dari awal dicegah, kenapa tidak?
Lakukan Proteksi dengan Asuransi
Perkembangan zaman terjadi dengan begitu pesat. Semakin hari, kita semakin melek finansial. Kita semakin sadar dengan adanya risiko-risiko dalam hidup yang bisa terjadi kapan saja. Maka dari itu, ada banyak di antara kita yang telah ‘mengamankan hidupnya’ dengan menggunakan produk asuransi.
Sedari dulu, orang tua saya cukup anti dengan namanya asuransi. Mungkin mereka sudah sering mendengar oknum-oknum sales asuransi yang hanya mengeluarkan janji manis. Asuransi memang kerap mendapat stigma tertentu dari masyarakat. Saya pun ketika kecil merasa asuransi bukan hal yang wajib untuk dilakukan. Akan tetapi, semakin dewasa, setelah mengalami berbagai permasalahan pelik, saya semakin menyadari bahwa asuransi adalah hal yang penting.
Sebenarnya, apa itu asuransi? Apa menabung secara tradisional itu tidak cukup, sampai harus ada asuransi segala? Dulunya, saya juga berpikir bahwa menabung seperti biasa itu cukup. Ternyata jawabannya adalah tidak. Asuransi menjadikan hidup kita lebih aman dan teratur, sebab jika (amit-amit) terjadi musibah, kita masih bisa mengklaim asuransi untuk dana pemulihan.
Hidup Aman dan Nyaman dengan Asuransi
Setelah mengetahui pentingnya asuransi, kini muncul lagi pertanyaan lain: asuransi apa? Ada banyak produk asuransi umum yang ditawarkan oleh perusahaan berbeda. Penting untuk memilih perusahaan yang kredibel dan jelas asal-usulnya. Terlebih lagi, perusahaan tersebut juga harus punya produk yang kita inginkan.
Salah satu asuransi yang sudah berdiri cukup lama di Indonesia adalah Tugu Insurance. Perusahaan yang berdiri sejak 25 November 1981 ini memiliki banyak pilihan produk yang cocok untuk personal hingga perusahaan sekalipun. Selain itu, Tugu Insurance juga sudah menorehkan berbagai penghargaan di sepanjang perjalanannya. Tak salah jika menyebutkan bahwa Tugu Insurance menjadi perusahaan jempolan di bidang industri, reasuransi, serta bisnis syariah.
Perusahaan yang berpusat di Jakarta ini telah terdaftar di OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sehingga tak perlu diragukan lagi legalitasnya. Selain itu, semenjak tahun 2018 silam, Tugu Insurance diberikan lampu hijau untuk membuka IPO (Penawaran Umum Perdana Saham) kepada masyarakat umum. Pada tahun yang sama pula, Tugu Insurance sukses masuk bursa saham BEI (Bursa Efek Indonesia). Bisa dibilang hingga saat ini lebih dari separuh saham TUGU (saham Tugu Insurance) dipegang oleh PT Pertamina.
Tugu Insurance punya lebih dari 10 jenis produk asuransi di berbagai sektor, seperti sektor energi, kebakaran & properti, penerbangan, rekayasa, rangka kapal, pengangkutan, dan protection & indemnity, kredit & penjaminan, hingga asuransi berbasis syariah. Selain itu, Tugu Insurance juga punya produk retail berupa tdrive, tride, dan tfracture yang merupakan asuransi untuk mobil, motor, hingga kecelakaan berupa patah tulang. Yang terakhir, Tugu Insurance pun punya produk asuransi modern berbasis syariah.
Lengkap sekali, ya! Jika saja dulu keluarga kami menggunakan asuransi dari Tugu Insurance, tentu akan ada banyak hal yang bisa diubah. Misalnya saja, ketika dulu Ayah kecelakaan, beliau bisa mendapat biaya dari asuransi tfracture, yakni asuransi yang menanggung biaya pengobatan tulang retak dan patah akibat kecelakaan, serta biaya asuransi tride, yakni asuransi yang menanggung biaya motor rusak. Atau misalnya, jika saya sakit dan tergabung di asuransi kesehatan Tugu Insurance, sudah tentu saya tak perlu kerepotan mencari dana untuk membiayai pengobatan kanker saya.
Melangkah Menuju Masa Depan
Sudah kodrat manusia terlahir sebagai makhluk sosial yang tak bisa hidup sendiri. Mau tak mau, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi lebih baik, terkadang kita butuh uluran tangan pihak lain. Dengan melangkah bersama Tugu Insurance, kita bisa hidup dengan lebih baik. Dengan adanya asuransi, kita bisa hidup lebih tenteram dan damai, tak lagi takut dengan apa yang mungkin saja terjadi di masa depan.
Kita tak bisa mengubah apa yang telah terjadi di masa lalu. Namun, kita punya masa ini. kita punya sekarang. Apa keputusan kita pada detik ini akan berimbas pada waktu yang akan datang. Jangalah kita membuang waktu dan menyia-nyiakan kesempatan. Selagi ada peluang untuk membuat masa depan lebih cerah, mengapa tidak?
0 Comments