Pengalaman Naik Bus DAMRI dari Pontianak ke Kuching
Ah, mager sekali!
Akhirnya saya kembali mencoba produktif setelah dua hari hanya bermalas-malasan. Maklum, penat melanda seluruh bagian tubuh. Rasanya pegal linu, tubuh remuk-redam akibat menggunakan perjalanan jarak jauh. Bukannya apa, saya berangkat dari Pontianak ke Kuching, Malaysia pada tanggal 22 Desember dan tiba tanggal 23. Setelah itu, saya pulang naik bus lagi pada tanggal 24. Luar biasa, hanya menjejakkan kaki sehari di luar negeri, saya sudah pulang begitu saja. Pergi ke luar negeri tak ubahnya seperti pergi ke luar kota.
Semua bermula saat saya, keluarga, serta dokter sedang galau memutuskan apakah saya bisa melanjutkan kemoterapi kelima belas. Semenjak sebulan lalu (bahkan sebelum kemoterapi ke-14 dilakukan), kaki kiri saya kembali bermasalah. Jika sebelumnya kaki saya pernah bengkak sampai satu kaki (benar-benar dari pangkal paha sampai ke ujung jari kaki), kali ini ada bagian di paha saya yang terasa keras. Tunggu, jangan bayangkan kaki saya yang keras ini seperti berotot.
Oh ya, jika teman-teman tertarik membaca kisah saya menghadapi kanker, silakan lihat daftar urutan artikelnya di sini.
Karena sudah sebulan menunda kemoterapi akibat kaki yang bengkak, saya pun diminta untuk ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa saya akan melakukan USG doppler dan CT Scan. USG Doppler merupakan tes yang dapat memperkirakan aliran darah melalui pembuluh darah. Sementara itu, CT scan adalah pemeriksaan medis yang menggunakan teknologi sinar X dan komputer sekaligus. Kami sendiri curiga kaki ini terkena kuman atau aliran darah di kaki tidak lancar. Mungkin faktor kebanyakan rebah?
Saat itu, harga tiket pesawat melonjak naik. Maklum, akhir tahun identik dengan liburan Natal dan tahun baru. Sebenarnya, ada sedikit drama di sini. Pada tanggal 18, saya membeli tiket bus DAMRI untuk keberangkatan tanggal 19. Ternyata pertemuan saya dengan dokter diundur jadi tanggal 23. Jadi, saya ingin mengubah keberangkatan ke tanggal 22. Silakan mampir ke sini jika ingin membaca pengalaman reschedule tiket DAMRI.
Selain DAMRI, ada beberapa pilihan lain bus seperti Eva Express dan SJS. Akan tetapi, saya memutuskan menggunakan DAMRI karena mudah melakukan pembelian. Saya download saja aplikasi DAMRI yang ada di Play Store, setelah itu login karena sudah memiliki akun. Saya langsung memilih tanggal keberangkatan yang diinginkan, mengisi data (nama dan nomor identitas), kemudian memilih kursi.
Akhirnya, pada tanggal 22 Desember 2019, saya berangkat pada malam hari.
Jarak dari Pontianak ke Kuching sendiri sekitar 330 km dan dapat ditempuh selama sekitar 5 jam 42 menit (secara teoritis). Jika dari Pontianak, maka kita perlu berangkat sendiri ke terminal bus yang berada di Jalan Ahmad Yani 2, Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya. Lokasi akuratnya bisa dicari di peta dengan nama Terminal Antar Negara. Biasanya butuh 30-60 menit jika kita berangkat dari pusat kota di Pontianak.
Ternyata, Terminal Internasional Antar Lintas Batas Negara (ALBN) ini luas dan bersih. Jika sudah memasuki halaman parkir, kita akan menemukan sebuah gedung yang terbuka. Banyak loket berjejer dari ujung ke ujung. Sementara itu, di bagian tengah ada loket petugas dan ada pintu untuk masuk ke area keberangkatan. Berdasarkan pengalaman, keluarga yang mengantarkan (alias tidak ikut berangkat) juga boleh masuk ke sini, berbeda dengan pengawasan bandara yang superketat.
Menjelang pukul 21:00 WIB, kami segera meletakkan barang-barang di bagasi. Sepuluh menit sebelum waktu keberangkatan, bus sudah melaju. Saya jadi bingung karena sudah terbiasa naik pesawat ke Kuching dan melalui sistem pengamanan yang ketat. Bayangkan, saat naik bus, tas penumpang tidak dicek (isi maupun beratnya), bahkan tidak ada pengecekan yang dilakukan pada penumpang.
Saat itu, saya membayar Rp260.000 per tiket dengan Royal Class. Dengan harga yang murah, berbagai fasilitas bus didapatkan. Saya sendiri mengutamakan keberadaan toilet dalam bus. Bisa bahaya kalau tiba-tiba sakit perut di tengah jalan. Tak terbayang juga jika harus menahan buang air kecil selama berjam-jam, pasti perjalanan jadi menyiksa.
Selain toilet, terdapat selimut yang sangat berguna menghangatkan tubuh. Malam-malam, AC-nya terasa sangat dingin. Saat itu saya menggunakan sepatu sandal, jadi jari kaki saya kedinginan. Saran untuk yang tak tahan dingin, sebaiknya pakai kaus kaki dan sepatu.
Fasilitas lainnya adalah sandaran kursi yang bisa dinaik-turunkan. Ada juga sandaran untuk kaki. Meskipun terdengar mewah, nyatanya saya tidak nyaman dengan tempat duduk seperti ini. Posisi saya rasanya serbasalah. Apalagi, orang di depan saya malah seenak jidat menurunkan sandaran tubuh ke belakang sehingga tempat saya jadi semakin sempit. Iya, dirinya memang nyaman, saya yang justru jadi tidak leluasa. Namun, ya sudahlah. Ini namanya risiko naik bus.
Tengah malam sekitar pukul 00:00 WIB, kami singgah di salah satu rumah makan. Rumah makan tersebut sangat luas, ada ratusan kursi dan puluhan meja yang berbaris. Orang-orang di sana juga luar biasa ramainya. Saya dan ibu saya memutuskan turun untuk numpang toilet. Astaga dragon, saat mengantri, aroma toilet sungguh menusuk hidung. Saya yang saat itu mengenakan masker saja masih bisa merasakan aroma yang memikat itu. Sampai-sampai masker saya harus ditimpa lagi dengan tisu supaya hidung saya yang polos ini tak menghirup bau tak sedap tersebut.
Tak berapa lama, kami melanjutkan perjalanan lagi. Luar biasanya, pukul 02:00 WIB, kami sudah tiba di depan perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Entikong. Sayangnya, saat itu gerbang perbatasan belum dibuka. Kami terpaksa melanjutkan tidur (meski tidak nyenyak). Barulah tiga jam kemudian, kami disuruh turun. Gerbang pun dibuka.
Intermezzo sedikit, saat ini perbatasan Entikong punya bangunan yang sangat rapi, bersih, dan tentunya cantik. Ini dia perbedaan perbatasan dulu dan sekarang, dilansir dari bumantaranews.
Seluruh penumpang bus berhamburan menuju area pemeriksaan di dalam gedung. Jika sudah selesai diperiksa pihak Indonesia, kita perlu berjalan kaki menuju imigrasi Malaysia di daerah Tebedu. Pukul 06:00 WIB, kami bisa kembali melanjutkan perjalanan. Di situ, saya pun mengubah jam tangan menjadi lebih cepat satu jam karena terdapat perbedaan waktu antara Kuching dan Pontianak.
Perjalanan melelahkan tersebut pun selesai kala kami tiba jam 09:30 waktu setempat. Semua berbondong-bondong turun, mengambil barang, lalu berpencar. Terminal bus di Kuching sangat ‘hidup’, berbeda dengan terminal di Ambawang yang benar-benar berfungsi hanya sebagai terminal. Sementara itu, di Kuching, kita bisa menemukan toko pakaian, makanan, kosmetik, dan lainnya di dalam gedung. Ada juga beberapa konter yang menjajakan nomor Malaysia.
Akhirnya, saya pun tiba di Kuching. Jika dihitung-hitung, waktu yang dibutuhkan adalah 11 jam (sudah termasuk singgah dan turun di perbatasan). Oke, akibat kelamaan duduk, badan saya pun encok pegal linu!
0 Comments