Berjuang Demi Uang
Dunia terasa berhenti berputar saat dokter membaca hasil PET scan. Sebagai seorang penderita kanker darah, saya telah menjalani kemoterapi sebanyak 14 kali. Bukannya musnah, sel kanker malah bertambah banyak. Sel kanker menjalar ke berbagai organ tubuh, tak terkecuali tulang, membuat saya harus melakukan transplantasi sumsum tulang. Biayanya? Ratusan juta.
Usai keluar dari ruang praktik dokter, saya dan ibu saya hanya dapat terduduk lunglai di bangku taman rumah sakit. Hal yang berkecamuk di pikiran saya hanya uang, uang dan uang. Dari mana saya bisa mendapat dana sebanyak itu dalam waktu dekat? Saya hanya berasal dari keluarga sederhana. Untuk kemoterapi selama ini pun orang tua saya sudah banting tulang bekerja dari subuh hingga malam. Keluarga besar pun sudah turut bahu-membahu membantu biaya pengobatan saya selama ini.
Akhirnya, saya sekeluarga memutuskan untuk menggalang dana. Yang Maha Pengasih pun masih sangat menyayangi saya. Melalui media sosial, berita tentang perjuangan saya pun menyebar dengan cepat. Mulai dari keluarga jauh, teman, bahkan orang yang tak dikenal sekalipun, turut membantu saya melalui donasi.
Hingga detik ini, saya masih berjuang melawan kanker yang menggerogoti tubuh. Fisik saya memang boleh sakit, tetapi tidak dengan jiwa saya. Berkat bantuan dari banyak pihak, saya mampu bertahan hingga saat ini. Begitu dahsyatnya kekuatan penggalangan dana, itu sudah saya rasakan secara pribadi.
Berbagi Rasa yang Sama
Mungkin kita memang saling tak mengenal, terpisahkan oleh jarak ribuan kilometer, tetapi kita berbagi rasa yang serupa. Hopeless. Itulah yang saya rasakan saat mencoba bertahan di kehidupan, tetapi tahu bahwa saya tak bisa melakukannya sendirian.
Nyatanya, saya hanya satu dari sekian ribu orang di Indonesia yang membutuhkan uluran tangan. Masih ada banyak Vivi-Vivi lain di luar sana. Saya yang tinggal di ibu kota provinsi saja tak dapat menjalani pengobatan di tempat saya tinggal. Di Pontianak, Kalimantan Barat sendiri belum terdapat fasilitas penanganan bagi pasien kanker. Mau tak mau, solusinya adalah berobat ke Pulau Jawa atau ke negeri tetangga.
Saya termasuk beruntung. Permasalahan tentang dana pengobatan yang saya hadapi akhirnya dapat tertangani. Masih banyak pribadi lain yang juga menghadapi masalah, namun karena kurangnya dana yang dimiliki, mereka hanya dalam berkutat dalam kesulitan. Permasalahannya, terkadang bukan orang-orang sekitar yang masa bodoh dengan kondisi orang lain, tetapi mereka tak tahu-menahu sama sekali tentang berita tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, terdapat 17,96% desa di Indonesia yang merupakan desa tertinggal. Sementara itu, desa berkembang ada sebanyak 74,49% dari total desa yang ada. Desa yang tergolong ke dalam desa mandiri hanya berjumlah sebanyak 7,55%.
Pembangunan di Indonesia memang masih belum merata. Berdasarkan data BPS per Maret 2019, peringkat persentase kemiskinan tertinggi di beberapa provinsi di Indonesia diisi oleh Papua (27,53%), Papua Barat (22,17%), NTT (21,09%), NTB (14,45%), serta Sulawesi Tengah (14,38%). Bayangkan dengan provinsi dengan persentase kemiskinan terendah di Indonesia, yakni DKI Jakarta dengan angka ‘hanya’ menyentuh 3,47%.
Pembangunan yang tidak merata menunjukkan adanya ketimpangan di berbagai daerah di Indonesia dari segi kemajuan wilayah. Baik dari segi pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan masyarakat, hingga pemberdayaan sumber daya manusia, seluruhnya masih timpang jika dibandingkan dengan daerah yang lebih maju, misalnya di Jawa.
Kita sebagai warga Indonesia yang baik tentu tidak boleh serta-merta menyalahkan pemerintah begitu saja. Memang benar, pemerintah bertanggung jawab terhadap kemajuan pembangunan seluruh wilayah di negeri ini tanpa terkecuali. Akan tetapi, faktanya, pemerintah masih belum mampu mengatasi persoalan di semua daerah. Meskipun pemerintah gencar melakukan pembangunan di sana-sini, masih ada tempat-tempat yang luput dari pandangan.
Dari segala permasalahan yang ada, ribuan saudara setanah air membutuhkan bantuan dana guna meningkatkan kualitas hidup mereka. Seperti yang saya katakan tadi, bukannya kita tidak ingin membantu. Namun, karena jauhnya jarak, serta kurangnya informasi, bisa jadi kisah-kisah mereka tak sempat tersampaikan kepada kita.
Bersama Bahu-Membahu Mendekatkan yang Jauh
Kita patut berbangga sebab Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia. Penobatan ini diberikan oleh survei lembaga amal Charities Aid Foundation (CAF) dalam alporan World Giving Index tahun 2018.
Sebenarnya, hal ini juga tak lepas dari kebiasaan masyarakat Indonesia yang kerap melakukan gotong royong dan punya solidaritas tinggi. Saling membantu bukan menjadi hal yang langka. Oleh karena itu, berbagai aksi filantropi pun tumbuh dan berkembang.
Tidak ada kata tidak untuk berbagi. Ada banyak lembaga yang menjadi wadah penghubung antara pihak yang membutuhkan pertolongan serta sang penolong. Ada lembaga filantropi, ada pula perusahaan yang membuat program-program CSR. Selain itu, ada juga charity yang dilakukan perorangan maupun lembaga-lembaga lain yang lebih kecil. Semuanya punya tujuan sama, yakni memajukan kesejahteraan masyarakat.
0 Comments