Artikel ini berisikan tentang ringkasan lengkap dari buku Demokrasi Ala Tukang Copet: Sekumpulan Sindiran dan Renungan untuk Indonesia. Resensi buku ini dibuat dengan tujuan memberikan informasi kepada teman-teman. Aku berharap, dengan adanya resensi ini, sobat bisa memutuskan untuk membeli buku ini secara legal dan membacanya, menambah ilmu dan pengetahuan baru.
Informasi Buku
Judul: Demokrasi ala Tukang Copet: Sekumpulan Sindiran dan Renungan untuk Indonesia
Penulis: Mohamad Sobary
Penerbit: Mizan
Tahun Terbit: 2015
ISBN: 978-979-433-836-0
Jumlah Halaman: 126
Kategori: Politik
Tentang Mohamad Sobary dan Buku Demokrasi Ala Tukang Copet
Mohamad Sobary merupakan budayawan dan esais terkemuka di Indonesia. Ia meniti karier sebagai peneliti bidang kebudayaan dan agama di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Sebagai penulis, Mohamad Sobary produktif menghasilkan esai dan buku. Salah satunya adalah buku Demokrasi Ala Tukang Copet yang berisikan pemikirannya tentang pemerintahan, dibalut dengan sindiran-sindiran halus dan cerdas.
Isi Buku
Buku ini terbagi menjadi 3 bab, antara lain:
- Bab 1: Demokrasi Tukang Copet: Sindiran-Sindiran Sosial
- Bab 2: Panggung Kosong Indonesia: Sindiran-Sindiran Kekuasaan
- Bab 3: Berguru pada Kebenaran: Renungan-Renungan Batin
Bab 1: Demokrasi Tukang Copet: Sindiran-Sindiran Sosial
Pada bab 1, terdapat beberapa sub-bab, antara lain:
- Demokrasi di Tangan Tukang Copet
- Talkshow yang Islami?
- Biografi, Center, dan Institute
- Katak dan Ular
- Membela Negara: “Jihad” Sejati
- Pengabdian dan Penghargaan
- Solidaritas Buta dan Kekerasan
- Yang Terkutuk dan yang Terpuji
- Tragedi Kepiting dan Monyet
Demokrasi di Tangan Tukang Copet
Bagian awal buku dibuka dengan percakapan dari dua orang. Mereka memperdebatkan bagaimana tukang copet memandang kebenaran. Tukang copet tidak percaya, atau tidak peduli tentang kebenaran tertinggi, kebenaran agamis. Bagi tukang copet, perampasan dianggap kebenaran.
Di bidang eksekutif dan legislatif, tukang copet melakukan korupsi. Mereka memang mengerti hukum, tetapi bahkan terhadap hukum Tuhan pun mereka tak peduli, apalagi hukum buatan kaum reformis. Pengadilan bahkan hanya sebuah basa-basi. Mereka paham demokrasi, tetapi demokrasi diubah makna dan definisinya sehingga tak menghalangi korupsi.
Talkshow yang Islami?
Perdebatan orang-orang yang berbeda sikap dan pandangan hidup, serta ideologi politk dan keagamaannya, merupakan hal yang tidak bijaksana. Apakah demokratis artinya berkelahi, bertengkar di depan publik? Kita tak sedang menuju ke arah tata hidup media seperti itu. Talkshow yang tenang, tetapi dialogis, tetap produktif suatu persoalan, jauh lebih diharapkan.
Biografi, Center, dan Institute
Pada zaman orde baru, kaum muda hidup dalam kungkungan penguasa. Hal yang kritis dan kebebasan dibatasi. Pada zaman tersebut, yayasan-yayasan merajalela. Sebagian untuk berbakti pada masyarakat, sebagian lagi menjadi tempat menggelapkan pajak.
Sebagian besar center dan institute dibuat karena kelebihan dana. Ketika pencalonan muncul, para pemilik yayasan dan institute terangsang untuk bangkit di dunia perpolitikan. Biografi pun bermunculan. Ada dua pesan yang terkandung dalam biografi, yakni untuk mengingatkan publik bahwa orang tersebut sudah berbuat banyak bagi negeri, dan satunya lagi yakni untuk mengiklankan diri.
Katak dan Ular
Bab dibuka dengan cerita rakyat antara katak dan ular. Dari perumpamaan tersebut, terlihat bahwa seorang pemimpin yang baik boleh terlihat kaku, tetapi tindakannya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Pemimpin harus bisa memecahkan persoalan secara bijaksana dan adil.
Membela Negara: “Jihad” Sejati
Seberapa pun jumlahnya, tak pernah boleh ada kata mahal untuk negara. Harkat bangsa dan negara tak bisa dijual dengan kata mahal. Kita tak boleh tergerus oleh pihak asing. Orang asing yang menjajah lagi? Ini merupakan zaman perjuangan jilid dua. Berjuang dan membela negara adalah jihad sejati. Jihad adalah satu-satunya permainan yang tidak mengenal kekalahan.
Pengabdian dan Penghargaan
Sejarah bukan tentang kisah kepahlawanan orang besar, bukan juga panggung kemegahan raja. Sejarah adalah kisah masa lampau tentang suatu hal yang terjadi, siapa pun bisa menjadi tokohnya. Penghargaan hanya diberi pada orang yang berjasa, mengabdi, dan berkorban bagi sesama manusia. Di luar itu, kita tak berhak menerima penghargaan.
Solidaritas Buta dan Kekerasan
Fenomena tawuran telah terjadi sejak tahun 1970-an. Tukang tawuran sering bicara tentang solidaritas. Demi apa yang dianggapnya solidaritas antarteman, mereka melakukan solidaritas buta. Mereka mengamuk, memporak-porandakan kehidupan pihak lain. Jika kita dikritik keras, dan kita membalas mengkritik dengan kedengkian, maka hal tersebut merupakan kekerasan. Apalagi jika kritik disusul serangan.
Yang Terkutuk dan yang Terpuji
Tindak korupsi yang dilakukan telah membunuh harkat kemanusiaan yang selama ini tetap miskin. Koruptor hanya diam membisu, layak disebut tugu batu. Seharusnya, tak hanya kasus negatif yang perlu diberitakan media, tetapi juga yang berprestasi. Jika warga yang melakukan perbuatan terpuji diberi penghargaan, jelas hal ini akan menimbulkan pengaruh positif di masyarakat.
Tragedi Kepiting dan Monyet
Bab buku kembali dibuka dengan cerita, kali ini kisah kepiting dan monyet. Dari kisah tersebut, bisa diketahui bahwa hadiah pada tingkat dunia memang tak main-main. Jasa calon penerima harus jelas. Mengenai aspek politik, kita harus ketahui sikap dan pandangan politik yang bersangkutan.
Bab 2: Panggung Kosong Indonesia: Sindiran-Sindiran Kekuasaan
Pada bab 2, terdapat beberapa sub-bab, antara lain:
- Ambisi dan Keserakahan
- Jokowi Memang Tidak Setengah Hati
- Kaisar Ditipu Bawahannya Sendiri
- Raja Sulaiman Bikin Aman
- Rendahnya Moralitas Politisi Kita
- Kerakyatan yang Membunuh Rakyat
- Orang Baik
- Soko Guru Kita Sudah “Doyong”
- Sekadar Tegas Tidak Cukup
- Panggung Kosong Kepemimpinan Umat
Ambisi dan Keserakahan
Persoalan hak dan batil serta benar dan salah memang sering tercampur aduk dalam hidup. Dalam birokrasi, orang ambisius bahkan serakah berusaha sekeras mungkin meraih cita-citanya, bahkan tak ragu melakukan tindakan memfitnah. Apa yang bukan haknya direbut dengan bertudung di balik mekanisme demokrasi. Kita tidak boleh tertipu penampilan yang tertata, sikap lemah lembut, serta kehalusan berbahasa.
Jokowi Memang Tidak Setengah Hati
Bagi Jokowi, penampilan tidak penting. Ia juga tak perlu bicara memakai bahasa runtut. Baginya, yang diperlukan bagi pejabat adalah tata kerja. Ia bukan man of words, tetapi man of actions. Jika bukan putra daerah, tetapi ingin memakmurkan, apa salahnya? Secara politik, kita ingin pejabat adalah putra daerah. Pada kenyataannya, pilihlah yang terbaik.
Kaisar Ditipu Bawahannya Sendiri
Kisah dibuka dengan dongeng kaisar yang ditipu bawahannya. Selanjutnya, materi masuk yakni mengenai pejabat dan bawahan. Contohnya, mantan presiden RI kedua, Suharto. Suharto merupakan orang yang suka dengan jabatan. Ketika publik menuntut beliau mundur, bawahannya pun terbirit-birit meninggalkannya. Hanya sedikit yang tetap loyal pada beliau. Seperti itulah politik.
Raja Sulaiman Bikin Aman
Siapa pun yang berkuasa wajib untuk melaksanakan tugas yang diemban. Kekuasaan harus digunakan demi kepentingan rakyat. Penguasa harus mencoba belajar bertanggung jawab secara bijaksana.
Rendahnya Moralitas Politisi Kita
Kerap kali, kita kurang mengenal siapa politisi kita serta aspirasi politik macam apa yang dimiliki. Kita perlu mengetahui wawasan mereka tentang politik, serta sikap dan pandangan terhadap agama. Jika ada politisi dari kalangan keagamaan yang serakah dan korupsi, tentu rakyat harus melawan. Kita tidak memihak teman atau golongan, melainkan memihak nilai keadilan, kemanusiaan, dan keindonesiaan.
Kerakyatan yang Membunuh Rakyat
Raja kita yang sesungguhnya bukanlah rakyat, tetapi wakil rakyat. Pasalnya, yang memegang kedaulatan adalah orang partai. Publik penuh keserakahan tak terbatas sehingga rakyat terus tertindas. Demokrasi hanya sebuah filsafat, di mana penguasa tak peduli aspirasi rakyat.
Orang Baik
Orang baik itu tidak cukup untuk dijadikan pemimpin, itu anggapan para ‘bandit’ di dunia politik. Sesungguhnya, orang baik sangat cukup untuk menjadi pemimpin. Orang baik itu bagus, sebab ia berpatokan pada kebenaran dan keadilan.
Soko Guru Kita Sudah “Doyong”
Saat ini, cita-cita bernegara sudah semakin jauh. Pemerintah tidak mau menerima suara selain persetujuan, maka tampil organisasi yang menjilat tanpa rasa malu. Orang yang kritis dan jujur malah digilas setandas-tandasnya. Kaum loyalis pun berubah jadi kaum royalis.
Sekadar Tegas Tidak Cukup
Tegas tidak cukup dijadikan sebagai patokan memilih pemimpin. Apa gunanya tegas jika buka mulut saja dilarang? Pemimpin yang punya ketegasan bukan jawaban bagi masalah kita.
Panggung Kosong Kepemimpinan Umat
Dari segala sektor kehidupan, semua punya tokoh yang bisa diajukan jadi pemimpin nasional. Mereka merasa bisa jadi pemimpin, tetapi jarang ada yang benar-benar memadai. Jika mereka gagal, maka mereka ikut musim pemilihan selanjutnya, tetapi kompetensi teknis yang dipertaruhkan masih sama dengan yang dulu. Calon pemimpin yang berkualitas sungguh terbatas.
Bab 3: Berguru pada Kebenaran: Renungan-Renungan Batin
Pada bab 3, terdapat beberapa sub-bab, antara lain:
- Berguru pada Kebenaran
- Aku Punya Cinta
- Anakku adalah Anakku
- Mencari Keluruhan Budi
- Berpuasa untuk Bangsa
Berguru pada Kebenaran
Dunia berputar cepat, di mana perubahan sosial melampaui batas kapasitas masyarakat untuk belajar tentang hal yang sedang terjadi. Hasrat memiliki hal fana menggelora dalam jiwa. Kita tak lagi punya tradisi untuk bertanya secara mendalam. Tak mengherankan, semakin sedikit orang yang berguru pada kebenaran.
Aku Punya Cinta
Birokrasi pemerintahan dan kerajaan selalu penuh dengan intrik. Ada pihak yang harus diselidiki, bahkan difitnah (dan dibunuh di zaman kerajaan). Hal-hal yang terjadi di masa lalu itu harus kita jadikan pembelajaran agar tak terulang lagi.
Anakku adalah Anakku
Kahlil Gibran mencatat sejarah seorang anak dari sudut pandang anak tersebut. Sesungguhnya, anak hanya ‘mampir’ sebentar dalam hidup. Kita boleh memberi cinta pada anak, tetapi jangan memaksa, sebab mereka punya pemikiran sendiri. Orang tua tetaplah orang tua.
Mencari Keluruhan Budi
Makna agama pada zaman sekarang kerap diasosiasikan dengan kekerasan. Begitu pula koruptor dan pengacaranya, sibuk berbohong. Kita haruslah mencari gambaran tentang budi pekerti yang tinggi, yaitu keluhuran.
Berpuasa untuk Bangsa
Ungkapan “untuk bangsa” kerap terdengar, tetapi sering kali hanya palsu. Tindakan murah hati menyantuni publik jauh lebih bermakna daripada kata-kata muluk. Kita perlu memohon kepada Tuhan agar berkenan mengobati negeri yang porak-poranda.
Kesimpulan Buku
Buku tentang demokrasi ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang politik dan pemerintahan. Kritik-kritik yang dilontarkan penulis sangat tajam dan bermakna. Ada banyak ilustrasi kisah yang turut memperkaya isi buku ini. Akhir kata, buku ini merupakan buku yang tepat untuk menambah wawasan dan sudut pandang kita.
0 Comments