Awal Mula Semuanya
Sudah lama saya tak membuat artikel pengalaman pribadi. Bukannya apa, saya tengah berkutat dengan mengikuti berbagai macam lomba penulisan artikel untuk blog. Ada alasan tersendiri mengapa saya suka mengikuti lomba blog meskipun tahu ternyata lebih banyak kalah daripada menangnya. Kali ini, berhubung salah satu artikel tentang perusahaan marmer sudah selesai saya buat, saya pun jeda sejenak. Tak ingin langsung membombardir diri dengan artikel lomba yang baru lagi. Maka dari itu, artikel ini pun tercipta.
Sebenarnya, pada Kamis, 5 Maret 2020, saya pulang kembali ke Pontianak. Sebelumnya, saya menjalani kemoterapi ketiga di Kuala Lumpur, Malaysia. Jadwal selanjutnya adalah PET scan pada tanggal 24 Maret 2020. Biasanya, saya akan berangkat sehari sebelum rangkaian kegiatan dimulai. Misalnya, jika kemoterapi hari Jumat, maka saya datang pada hari Kamis. Soalnya, untuk apa, coba, berlama-lama di sana?
Kali ini, semuanya berbeda. Saya dihadapkan dengan situasi di mana suatu wabah sedang berlangsung. Jika sobat membaca artikel ini pada awal tahun 2020, tentu sobat tahu bahwa wabah yang saya maksud adalah novel coronavirus 2019 atau covid-19. Awalnya, virus ini bermula di akhir tahun 2019. Saat itu masih belum terlintas di pikiran saya bahwa virus ini akan menyebar begitu cepat hingga kehidupan saya pun terdampak.
Awalnya, saya sudah membeli tiket pesawat tanggal 23 Maret. Jika ada yang bertanya, untuk apa cepat-cepat beli tiket? Jawabannya simpel. Jadwal saya sudah ditetapkan, ‘toh tak akan berubah, bukan? Maka dari itu, saya pun membeli tiket sesegera mungkin. Mumpung harganya masih belum terlalu mahal.
Mau untung malah buntung, itulah yang saya rasakan saat dokter saya tiba-tiba mengirimkan email.
Intinya, saya diminta untuk datang seminggu lebih awal dari jadwal PET scan. Begitu pula, kemoterapi yang harusnya dilaksanakan sehari setelah scan pun diundur jadi seminggu setelahnya. Bukannya apa, saya harus berada di Malaysia selama 2 minggu, barulah saya bisa ditangani untuk kemoterapi. Semua ini tak jauh-jauh dari akibat covid-19 yang punya masa inkubasi sekitar 2 minggu. Bisa dipastikan, jika saya tak mengeluhkan gejala batuk, demam, maupun sesak napas, artinya saya bebas covid-19 dan bisa dirawat di rumah sakit.
Masalahnya, saya sudah telanjur membeli tiket pesawat untuk tanggal 23 Maret. Untuk reschedule pun, maskapai ini punya opsi yang malah membuat kita sebagai penumpang harus membayar mahal—bahkan lebih mahal daripada kita langsung membeli tiket baru untuk penerbangan yang sama di tanggal berbeda. Tidak ada opsi refund, jadi intinya ya saya pasti rugi. Jadilah saya (dengan berat hati) memutuskan untuk membeli tiket baru di tanggal 17 Maret. Tiket 23 Maret saya biarkan begitu saja.
Suatu Keajaiban Dunia
Jika saya tak salah mengingat, pada 16 Maret 2020, mendadak muncul berita yang menggemparkan: Malaysia akan lockdown mulai 18 Maret hingga 31 Maret 2020. Bagi yang ingin pulang ke negara asalnya, dipersilakan. Sementara itu, bagi yang ingin datang, silakan datang paling lambat pada 17 Maret.
Sontak saya terkejut. Saya membeli tiket tepat untuk hari terakhir sebelum lockdown. Benar-benar suatu kebetulan (meskipun sebenarnya saya sudah melakukan perhitungan, 17 Maret tepat seminggu sebelum saya melakukan PET scan, dan tepat dua minggu sebelum kemoterapi dimulai). Untunglah saya tak perlu membeli tiket ulang, jadi saya tak tambah banyak menyia-nyiakan uang.
Hari Keberangkatan
Suasana bandara di Kota Pontianak terlihat biasa saja. Tak terlalu ramai, namun tak bisa pula saya katakan kosong sama sekali. Memang benar, ruang tunggu terlihat lebih kosong. Ruang tunggu keberangkatan internasional yang biasanya menampung penumpang tujuan Kuching dan Kuala Lumpur tersebut pun terlihat lebih sepi. Padahal, biasanya, tempat duduk dari ujung ke ujung selalu ramai ditempati.
Memasuki pesawat, kali itu pesawat terlihat cukup ramai. Entahlah, tak mungkin juga saya memerhatikan tempat duduk penumpang satu per satu. Memang, ada beberapa tempat yang terlihat kosong, terutama di bagian depan. Penumpang yang memilih self check-in tanpa membeli kursi pilihan pun diberikan tempat secara acak, biasanya di bagian tengah hingga ke belakang. Maka, tak mengherankan jika kursi bagian belakang lebih banyak dihuni orang-orang.
Perjalanan yang memakan waktu sekitar satu setengah jam tersebut pun akhirnya berlalu begitu saja. Sesampainya di bandara KLIA2 Kuala Lumpur, kami pun berbondong-bondong turun dari pesawat, bergegas menuju konter imigrasi. Suasana jauh berbeda dari bandara di Pontianak. Lengang terasa di bandara Kuala Lumpur. Jika biasanya lokasi imigrasi dipadati orang-orang dari berbagai negara, semisal Indonesia, Jepang, hingga India, maka kali ini imigrasi benar-benar sepi.
Saya yang biasanya harus mengantri sekitar satu jam sebelum akhirnya mendapat giliran, kali ini langsung berjalan leluasa ke konter imigrasi yang tak ada pengunjungnya. Sesekali saya merasa was-was saat diminta scan sidik jari. Maklum, saya tak tahu jemari siapa yang sebelumnya menggunakan alat tersebut. Usai menempelkan kedua jari telunjuk di alat tersebut, saya bergegas memencet hand sanitizer yang terletak pada konter tersebut. Entahlah diperuntukkan bagi siapa gel tersebut, sebab ternyata di konter lain tak terdapat fasilitas hand sanitizer. Untungnya petugas imigrasi pun tak berkata apa-apa saat saya ‘main ambil’ hand sanitizer. Mungkin beliau juga mengerti. Semoga.
Satu Berita yang Menggembirakan
Sudah entah berapa lama saya tak memedulikan tiket pesawat lagi. Saya tak mau jadi stres sendiri memikirkannya. Maklum, saat itu saya memang salah langkah. Akan tetapi, saya tahu berlarut dalam penyesalan tak ada gunanya. Semakin stres, semakin tak baik juga bagi kondisi mental dan fisik.
Suatu hari, entah kapan tepatnya, tiba-tiba saya mendapatkan email dari maskapai penerbangan. Usut punya usut, penerbangan saya tersebut dibatalkan dan saya bisa mendapatkan kembali uang yang telah saya bayarkan. Meski sudah segera memprosesnya, hingga saat ini uang tersebut belum saya terima. Maskapai mengatakan bahwa mereka butuh waktu yang lebih lama untuk menangani semua konsumen. Saya hanya bisa menunggu. Paling tidak, kini ada satu kepastian, yaitu saya tak jadi rugi, haha …
Bukannya apa, biaya pengobatan saya sudah dibantu oleh sobat sekalian. Saya tak ingin menyia-nyiakan dana yang telah sobat donasikan demi kesembuhan saya. Hingga saat ini, saya masih berjuang. Di saat semua orang memusingkan covid-19, saya justru double pusingnya. Semuanya pasti akan berlalu. Covid-19 ini, lockdown ini, dan penyakit ini.
Lockdown di Malaysia
Ada beberapa teman saya yang bertanya seperti apa kondisi Malaysia pasca pemberitahuan lockdown diumumkan. Sepenglihatan saya (sebab jarak dari bandara ke rumah sakit sekitar satu jam), saat H-1 sebelum lockdown jalanan masih tak terlalu lengang, meskipun tak seramai yang dulu-dulu. Besoknya, pada hari lockdown, saya mendengar curhatan penduduk di sana bahwa ia tak berhasil mendapatkan satu telur pun saat berbelanja. Namun, sorenya, saat giliran saya yang berbelanja kebutuhan karena akan tinggal di Malaysia cukup lama, saya lihat ternyata kondisi tak separah yang orang tersebut katakan. Mungkin kami berbelanja di tempat serta pada saat yang berbeda, jadi tidak dapat dibandingkan.
Saya salut dengan warga Malaysia yang patuh terhadap peraturan pemerintah. Semenjak hari lockdown, jalanan menjadi jauh lebih sepi. Mereka benar-benar stay at home. Dengan begitu, diharapkan kasus covid-19 dapat menurun. Semoga saja di Indonesia sana anjuran work from home dan stay at home dapat diterapkan.
0 Comments
Trackbacks/Pingbacks