Demam virus corona saat ini tengah menggemparkan publik. Bukannya apa, virus tersebut menjadi salah satu virus ganas yang mampu menyerang manusia dalam waktu yang cukup singkat. Menurut data yang saya baca dari CNBC Indonesia, per tanggal 30 Januari 2020, virus ini saja sudah menembus 18 negara, mulai dari tentu saja Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok), tempat asal mula virus ini berasal, negara-negara di Asia seperti Thailand, Singapura, Jepang, Malaysia, Korea Selatan, bahkan hingga ke negara-negara di benua lain, seperti Prancis, Amerika Serikat, Australia, dan masih banyak lagi.
Fakta dan data terkait virus corona memang simpang siur. Ada yang menyebutkan bahwa Tiongkok mencoba menyembunyikan jumlah asli warga yang terpapar virus corona, hingga yang meninggal dunia. Setidaknya, sudah ada 170 orang yang meninggal akibat virus ini.
Khawatir? Tentu saja. Kita sebagai warga negara Indonesia, merupakan negara di Asia Tenggara yang letaknya cukup dekat dengan negara-negara lain yang telah terpapar virus corona —seperti Singapura dan Malaysia. Di bawah ini saya sertakan peta persebaran virus corona per tanggal 30 Januari 2020. Sobat bisa melihat data real time di sini.
Masa inkubasi dari virus corona adalah selama sekitar 14 hari. Artinya, jika virus corona sudah masuk ke dalam tubuh seseorang, ada jeda waktu sekitar 2 minggu sebelum akhirnya gejala terpapar virus tersebut timbul. Bisa jadi seseorang tampak sehat, padahal sebenarnya virus telah masuk ke dalam tubuh tanpa disadari.
Saya sendiri memiliki teman yang tinggal di Tiongkok, namun pulang saat tahun baru. Kini ia kebingungan karena akses transportasi ke tempatnya bermukim telah ditutup. Kota Wuhan sendiri saat ini telah diisolasi. Artinya, tidak ada warga yang dapat datang maupun pergi ke dan dari kota tersebut sesuka hati. Lantas, bagaimana kehidupan warga di Kota Wuhan?
Maraknya informasi yang beredar membuat kita harus selektif dalam memilih informasi yang masuk. Bisa jadi, berita yang beredar di sosial media adalah hoax atau kabar palsu semata. Saya sendiri lebih berpatokan pada portal berita yang dapat dipercaya, baik skala nasional maupun internasional. Ada yang mengatakan bahwa kota tersebut sudah seperti kota mati. Akses ditutup. Persediaan bahan makanan menipis. Rumah sakit dipenuhi warga yang terjangkit virus, dan jumlahnya luar biasa banyaknya.
Ah, kini saya merasa bingung. Saat ini saya sedang menjalani pengobatan kanker di Kuala Lumpur, Malaysia. Akhir bulan Januari lalu, saya baru saja selesai menjalani kemoterapi pertama. Awal Februari nanti, saya akan kembali ke Kuala Lumpur untuk melaksanakan kemoterapi kedua.
Saya pun jadi was-was. Bagaimana saya akan pergi nantinya? Saya pikir menggunakan masker saja tidak cukup untuk menangkal virus corona. Apalagi, usai kemoterapi, tentu saja kekebalan tubuh saya menurun. Jangankan virus corona, virus influenza pun saya takuti.
Penggunaan masker menjadi salah satu hal wajib bagi orang-orang yang hilir mudik di bandara. Penjualan masker jadi laris manis. Mulai dari masker bedah yang tipis hingga masker N95 yang digadang-gadang mampu mencekal virus masuk ke tubuh, semuanya ludes terjual. Harga masker pun naik drastis, membuat saya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Pertanyaannya, seberapa efektifkah penggunaan masker?
Virus corona memiliki ukuran sekitar 100-120 nanometer. Ukuran yang sangat kecil jika dibandingkan dengan spesifikasi masker yang akan kita gunakan.
Ambillah contoh, masker bedah. Masker jenis ini biasanya terdiri dari 3ply (3 lapisan). Bentuknya cukup tipis. Cantolannya bisa berupa cantolan telinga maupun langsung ke kepala (biasanya, masker cantol kepala ini digunakan wanita berhijab). Nyatanya, masker ini tidak efektif. Masker jenis ini tidak memiliki kemampuan menutupi hidung dan mulut dengan sempurna karena terdapat celah di keempat sisi masker tersebut. Tujuan masker jenis ini adalah untuk menyaring udara yang keluar dari mulut atau hidung pemakai.
Contoh lainnya adalah masker N95. Masker jenis ini adalah respirator, yaitu alat pelindung diri yang dipakai di wajah, setidaknya meliputi hidung serta mulut. Pelindung ini berfungsi mengurangi risiko bahaya partikel di udara, gas, dan uap. Masker N95 ini bekerja dengan cara menghilangkan kontaminan dari udara. Huruf N pada masker ini menandakan bahwa masker ini berjenis non-oil resistance atau tidak tahan terhadap uap minyak. Angka 95 yang mewakilinya menunjukkan jumlah persentase partikel udara yang dapat disaring berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan NIOSH, yakni 95%.
Berdasarkan Jurnal Respirasi Vol. 3 No 1 Januari 2017, masker N95 mampu menyaring partikel berukuran 0,3 mikrometer sebesar 95%. Artinya, masker N95 mampu menyaring partikel seukuran 300 nanometer sebanyak 95%.
Tunggu dulu. Berapa ukuran virus corona yang saya sebut tadi? 100-120 nanometer?
Bukankah itu lebih kecil dari kemampuan masker N95 yang dianggap ajaib ini?
Bayangkanlah kita memelihara seekor kucing. Kucing tersebut kita taruh ke dalam kandang berterali. Ada sekat-sekat vertikal yang berjarak sempit, membuat kucing tersebut tak bisa keluar dari kandang sesuka hati. Kita lalu menaruh makanan kucing ke dalam kandang. Kasihan, si kucing kelaparan. Ia pun makan dengan lahap, tetapi masih ada satu-dua yang tak dihabiskannya. Beberapa jam berlalu, ternyata makanan kucing di dalam kandang tersebut telah dikerumuni oleh semut. Astaga, kini kita pun repot membersihkan kandang, sekaligus mencegah agar si kucing kabur-kaburan.
Dari ilustrasi di atas, bayangkanlah masker sebagai kandang, kucing sebagai kemampuan kandang dalam menyegel sesuatu, dan semut sebagai si virus corona. Kucing tentu tidak dapat keluar dengan leluasa, tetapi nyatanya semut dapat keluar-masuk sesuka hati.
Mungkin begitu juga dengan virus corona, si mungil berukuran 100 nanometer. Bandingkan dengan masker N95 yang ‘hanya’ mampu menyaring 95% partikel, itu pun kalau berukuran 300 nanometer. Ukurannya berbeda.
Jadi, pertanyaannya, apa benar penggunaan masker membuat kita aman dari virus corona?
Hati kecil saya berkata tidak. Akan tetapi, nyatanya, saya pun memilih untuk tetap mengenakan masker jika bepergian ke luar rumah, apalagi saat pergi ke bandara. Lebih baik melindungi diri daripada tidak sama sekali, bukan?
0 Comments
Trackbacks/Pingbacks