Abstrak:
Tulisan ini adalah tulisan ngalor-ngidul dari otak sangsutku yang berisi seputar kondisi kesehatanku saat ini.
Rumusan Masalah:
Bagaimana kondisi kesehatan Vivi saat ini?
Metode Penelitian:
Metode PET Scan dilakukan oleh Vivi (ini tidak ada hubungannya dengan hewan peliharaan yang dalam bahasa Inggrisnya yakni ‘pet’). PET Scan merupakan metode pemeriksaan untuk mengetahui persebaran sel kanker dalam tubuh.
Isi:
Basa-Basi
Sebelumnya, aku ingin berterima kasih kepada semua pihak yang sudah menanyakan kabarku. Kalau kalian enggak nanyain kabarku tapi malah ngebaca post ini, thanks juga karena sudah mau mampir walaupun ini post yang gaje alias gak jelas banget. Gak jelas karena ini ditulis dalam satu kali ketik, no revision. Anggap aja kita lagi ngobrol gitu. My blog, my rule. Sip?
Jadi, intinya, aku mendadak niat buat bikin tulisan ini karena ada orang-orang yang menanyakan kabarku. Sejak aku selesai melakukan transplantasi sumsum tulang sampai saat ini, banyak banget yang nanyain kondisiku apa sudah sehat atau belum.
Ribetnya ke Malaysia
Sebenarnya, setelah transplantasi, aku pulang ke Indonesia. Harusnya aku PET Scan pada bulan Mei 2020, tapi gak kulakukan karena dunia lagi dilanda COVID-19 dan gak bisa scan di Malaysia. Kalau bisa pun, caranya rempong banget. Pas bulan Agustus, temanku bilang kalau mau ke Malaysia harus pakai ambulans dan biayanya 70 juta. Buset. Itu baru ambulans, belum pengobatannya.
Pada bulan Agustus juga, aku sempat tanya perwakilan rumah sakit Kuala Lumpur yang ada di Indonesia. Katanya, bisa berangkat dari Jakarta ke Kuala Lumpur. Kalau berangkat dari Jakarta, biayanya 11 juta per orang. Kalau dari Medan, biayanya 5 juta per orang. Akunya dari Pontianak, masa’ harus transit ke Jakarta? Biaya bolak-balik malah lebih mahal dari biaya PET Scan. Pupuslah harapanku untuk PET Scan. Maklum, aku bukan anak sultan. Kalau mahal, aku tak mau (dan tak mampu juga, haha).
Selain itu, pada bulan September, ada kenalanku yang berhasil berobat di Kuching, Malaysia (buat teman-teman yang non-Pontianak dan belum tahu, Pontianak itu masih satu pulau sama Kuching, jadi bisa ditempuh pakai jalur darat). Nah, menurut penuturannya, mobil dari Pontianak ke perbatasan menghabiskan biaya sekitar Rp2.500.000,00. Setelah itu, ambulans dari perbatasan ke rumah sakit membutuhkan biaya RM 1000 (kalau dirupiahkan sekitar 3,5 juta).
Setelah sampai, pasien (dan pendampingnya) harus melakukan swab test. Biayanya sejuta rupiah per orang. Habis itu, yang bikin makin bingung, pasien dan sang pendamping harus dikarantina 2 minggu (khusus pasien akan mendapat pengobatan), walaupun hasil swab bilangnya negatif. Biaya karantina ditanggung si pasien.
Logikanya, kalau ‘cuma’ PET Scan, ngapain sampai harus ke Kuching apalagi Kuala Lumpur segala? Selain mahal, caranya rempong abis. Maka dari itu, aku pun mikir mungkin enggak apa-apa kalau aku menunda PET Scan, selama tubuhku enggak memberikan ‘sinyal aneh’.
Sinyal Aneh Penghancur Segalanya
Sebenarnya, aku merasa fine-fine aja sejak Maret sampai pertengahan Oktober lalu. Walaupun begitu, aku sendiri enggak yakin dengan kondisiku, karena yang namanya kanker itu baru ketahuan kalau dilihat dari PET Scan atau ketika gejala sudah muncul. Gejalanya sendiri untuk limfoma berupa penurunan berat badan, demam, nyeri, dan masih banyak lagi.
Masalahnya, sejak pertengahan Oktober, aku sempat demam di malam hari beberapa kali. Demamnya itu sampai mengigil dan benar-benar mirip kayak dulu. Demam yang bikin mager dan tak produktif, tapi mau tidur juga kagak bisa. Cuma beberapa kali sih, tapi tetap aja bikin was-was.
Hal yang paling mengganggu (sekaligus nakutin) adalah ketika raga ini mendadak terasa sakit. Eak, bahasanya. Kalau ditilik dari perjalanan kankerku selama ini, aku pernah nyeri di bagian pinggul atau pinggang atau pantat (aku sendiri tak yakin), intinya di bagian kanan (ini nyerinya pas masih kelas 3 SMA, sakitnya ampun-ampunan), nyeri di perut, serta punggung (ini mulai nyeri ketika relapse di akhir 2019 lalu, kondisi makin parah di sela-sela kemoterapi).
Sekitar 1-2 minggu lalu (aku lupa tepatnya kapan), mendadak punggungku sakit lagi. posisinya agak ke bahu kiri, di area sekitar situ, tapi kalau disuruh menunjuk satu titik, aku enggak tahu tepatnya di mana. Mau positive thinking dan bilang ini mungkin nyeri otot akibat kebanyakan duduk (maklum, kuliah dari pagi sampai siang di depan laptop, lanjut lagi bikin artikel kalau lagi rajin), tapi kayaknya terlalu membohongi diri sendiri. Bagi sesama survivor cancer yang pernah ngerasain nyeri kanker, pasti tahu itu sakitnya kayak gimana.
Memutuskan untuk PET Scan
Karena tubuh sudah merasa tidak sehat, aku pun enggak mau menunda-nunda lagi untuk PET Scan. Berhubung kuliahku baru saja selesai UTS dan aku dapat jatah libur seminggu, aku pun capcus pergi ke Jakarta untuk PET Scan. Segala rintangan sulit kutempuh demi mendapat akses kesehatan. Walaupun saat ini COVID-19 sedang merajalela, aku mau tak mau harus mengambil risiko.
Hasil PET Scan
Pasti ini yang ditunggu-tunggu kalian, bukan? Intinya, post yang kubuat ini memang bertujuan menjawab hal tersebut. Banyak yang bertanya bagaimana hasil PET Scan-ku (yang masih fresh from oven karena baru kuambil tadi). Daripada aku sibuk menjelaskan satu per satu lagi, mari langsung saja kita simak bersama.
Jadi, hasil PET Scanku tidak kuketahui. What? Maksudnya? Santai. Jadi, hasil PET Scan itu enggak sesimpel yang kalian kira. Apa kalian mengira tulisannya berupa “kamu sehat”, atau “kamu sakit lagi”? Tidak semudah itu, Ferguso. Isi PET Scan itu berupa kalimat deskripsi yang punya banyak istilah medis. Kalian mengerti, apa itu makna dari ‘lesi’, ‘atenuasi’, ‘retromandibula’, ‘septal’, dan sejenisnya?
Solusinya, supaya aku bisa tahu hasil PET Scan ini, aku harus mengirimkan datanya kepada dokter yang merawatku. Nanti, setelah aku sudah mendapat hasilnya, pasti aku kabari, kok. Tapi, kalau menurutku pribadi, sepengetahuanku (yang ‘cetek’ ini), aku merasa hasilnya tidak bagus. Doakan saja semoga dugaanku salah. Namun, aku mencoba untuk logis.
Langkah Selanjutnya
Kalau dokter bilang aku sehat, seharusnya aku enggak perlu melakukan mengobatan lanjutan. Tapi, kalau ternyata aku dinyatakan butuh pengobatan, ya terpaksa harus berobat. Sesulit apa pun pengobatannya, aku siap untuk menjalani. Namanya juga mau hidup, apa boleh buat?
Masalah utamanya bagiku adalah terletak pada dana. Kalau aku anak sultan, anak holang kaya, aku tak perlu mempermasalahkan ini. Aku pasti siap. Aku enggak sebegitu takutnya, sih, menghadapi proses pengobatan. Dulu aja, ketika aku selesai transplantasi dan harus melepaskan selang besar di leher (selang itu masuk ke tubuh dan tersambung ke pembuluh darah), aku bahkan melihat 100% proses pengambilan selang tanpa sensor. Dengan posisi berbaring yang jelek abis, aku mengambil cermin mini dan melihat si selang ditarik keluar dari tubuh. Penasaran, gitu. Kalau orang yang takut, mungkin udah pingsan duluan.
Kembali ke topik, aku benar-benar tak mampu secara ekonomi. Bulan Maret 2020 lalu, aku bahkan sampai harus menggalang dana untuk transplantasi sumsum tulang. Biayanya mahal, cuy. Super duper mahal. Dulu, aku sempat lama berobat Katakanlah dana kami sudah habis-habisan, pasti ujung-ujungnya aku harus menggalang dana lagi, berharap ada orang baik yang rela memberi. Aku tahu ini memang tak mudah, tapi mau bagaimana lagi? Tidak semua pengobatan ditanggung oleh BPJS. Lalu, kalau sudah tak ada uang untuk berobat, mau bagaimana? Entahlah.
Kenapa Kalau Sudah Sembuh, Bisa Terkena Kanker Lagi?
Istilah bagi para pejuang kanker sesungguhnya bukan ‘sembuh’, tapi ‘remisi’. Remisi merupakan kondisi di mana enggak ditemukan sel kanker dalam tubuh. Sementara itu, ‘relaps’ artinya kondisi saat sel kanker kembali ada di dalam tubuh. Seorang cancer survivor wajib melakukan check up rutin berupa PET Scan agar benar-benar tahu kondisi di tubuh. Dokter pun tak bisa berkata apa-apa tanpa adanya data. Data adalah bukti.
Kita enggak pernah tahu apa penyebab kanker muncul (ataupun muncul kembali, jika seseorang sudah pernah memiliki riwayat penyakit kanker). Kalau dibilang orang yang kena kanker pasti makan sembarangan, orang yang menjalani hidup sehat saja bisa kena. Aku punya kenalan yang bukan hanya menjaga pola asupan makan sehat, bahkan dia juga aktif berolahraga supaya bugar, sayangnya terkena kanker (dan masih berjuang saat ini). Ada yang vegan/vegetarian, masih juga terkena kanker. Intinya, kanker ini multifaktor. Dokter pun bilang bahwa penyebab kanker masih belum diketahui. Peneliti bahkan belum bisa tahu pasti, sayangnya rata-rata orang yang berada di lingkungan si pejuang kanker ini malah men-judge penderita kanker hanya dari pola hidupnya. Seharusnya kalian support pejuang kanker, bukan malah melarang mereka untuk makan ini dan itu. Mereka butuh dukungan, bukan celaan.
Aku sendiri pun semenjak sakit semakin menjaga pola makan. Walaupun aku percaya bahwa semua makanan itu baik asalkan tidak berlebihan, lebih baik aku enggak memakan ‘makanan larangan ayah tercinta’ yang nantinya kalau dilanggar akan memicu pertengkaran dan runyam lagi urusannya. Ah, padahal abangku yang seorang dokter, membebaskan aku untuk makan apa saja. Sulitnya. Lebih baik mencoba menjaga diri daripada tidak sama sekali.
Kesimpulan:
Ah, kenapa begitu sulit hanya ingin bernapas lebih lama? Sudahlah, sampai di sini dulu tulisanku. Aku ingin berbaring, bergelung dalam selimut, menikmati detik demi detik hidup yang bisa digunakan untuk santai dan setidaknya sedikit bahagia.
[Diingatkan bagi yang sudah membaca, silakan tinggalkan jejak dan komentar di sini]
Tetap semangat Vivi.
Terima kasih bu
Hi, vi. You know aku salah 1 yang bertanya juga. Thanks for explaining that on this post, n maybe I’ll be back to your blog setelah hasil konsultasi dengan dokter. #virtualHug ya utk km. Aku cukup bs relate dengan rasa sakit km dan capenya gimana. Have a good rest!
Iyaa, kamu kuat banget. semoga cancernya mati semua!! #virtualhug
Semangat, Gbu.
GBU too 😀
Hai Vivi, salam kenal. Dalam rangka membangkitkan (caelaa) semangat ngeblog dengan menelusuri para pemenang lomba blog beberapa tahun terakhir, saya mendarat di blog ini. You’re so talented. Semoga hasil bacaannya tdk terlalu mengkhawatirkan dan kamu tetap semangat beraktifitas
Terima kasih sudah terdampar di sini :v
Semangat juga ya!
Hallo kak vivi tetap semangat ya dan jangan lupa bahagia. Tetap stay healthy.
Iya, kamu juga semangat ya!
Terima kasih telah membuat tulisan ini, setidaknya memberikan nasehat berharga bagi diri yang kerap dilanda ketakutan tak beralasan. Terima kasih juga telah mengingatkan bahwa setiap detik waktu yang diberi untuk tetap bernapas adalah sangat berharga….
Btw, salam kenal vivi….
Salam kenal juga, terima kasih ya sudah berkunjung dan meninggalkan jejak 😀