Sapaan yang Tidak Penting
Hola guys! Mungkin ada di antara kalian yang bertanya-tanya ke manakah diriku selama ini (eak, memangnya saya siapa, atuh). Soalnya, aku udah cukup lama gak update blog ini, begitu juga dengan isi akun sosmed-ku yang jarang kuperbarui. Kalau udah lupa, kalian bisa baca kembali tentang apa yang terjadi padaku beberapa waktu lalu.
Karena mengalami kanker darah jenis limfoma dan kondisiku memburuk di tengah-tengah kemoterapi ABVD, jadi aku memulai pengobatan lain berupa kemoterapi ICE + transplantasi sumsum tulang sejak Januari 2020. Rangkaian proses tersebut selesai pada April 2020 lalu. Usai bertobat berobat, aku pun pulang ke Indonesia (karena waktu itu aku berobat di Malaysia), lalu mulai menjalani kehidupan seperti biasa. Special thanks buat semuanya yang selalu mendoakan dan membantuku dalam masa-masa sulit.
Setelah Pengobatan – April 2020
Saat baru pulang ke Indonesia, rasanya tuh MERDEKA banget. Bayangin aja, selama tiga tahun sebelumnya, aku sering sakit-sakitan gak jelas. Terkadang, kondisiku baik-baik aja hingga aku bisa sekolah, kuliah, bahkan ke luar kota. Tapi, kondisiku kadang mendadak memburuk (contoh paling jelasnya, kakiku tiba-tiba bengkak sebelah pas lagi lomba, ahaha).
Karena sudah selesai menjalani pengobatan selama kurang lebih setahun, aku pun merasa BEBAS. Gak perlu merasakan efek samping kemoterapi seperti rambut rontok gila-gilaan, lidah nyut-nyutan sampai gak ada rasa, badan lemes, tangan yang dipakai buat infus kemo nyeri berhari-hari, bolak-balik suntik obat ke perut buat nambah leukosit, dan tentunya gak perlu bertemu jarum suntik lagi (saking seringnya disuntik, pas petugasnya bilang “kalau sakit dikit, tolong ditahan, ya,” aku malah ngejawab “oh, gapapa, udah biasa.” So sad :’)
Yang terpenting, aku udah bebas buat mikirin gimana hidup aku ke depannya. Cancer lumayan bikin hidup aku naik-turun kayak roaller coaster, sih. Capek hayati, pernah tiga kali batalin beasiswa full S1, sempat berhenti kuliah, hidup jadi gak produktif karena sakit terus (bahkan pernah sampai hampir gak bisa jalan), dan masa depan jadi abu-abu karena gak yakin sampai kapan bisa bertahan. Jadi, setelah selesai pengobatan, rasanya itu bahagia kuadrat alias super senang.
Walaupun begitu, aku sadar, aku gak 100% merdeka dan bebas dari yang namanya relaps. Ada kemungkinan bahwa kanker kapan pun bisa balik lagi ke tubuh. Berdasarkan jurnal yang dipublikasikan Michael Crump, MD, FRCPC, seorang researcher yang fokus meneliti tentang limfoma dan transplantasi sumsum tulang, persentase Hodgkin lymphoma kembali dalam kurun waktu setahun setelah pasien melakukan transplantasi adalah sebesar 50%. Artinya, meskipun udah melakukan pengobatan yang rumit, tetap ada kemungkinan kanker akan kembali.
Jadwal PET Scan yang Terabaikan – Juni 2020
Pada bulan Maret 2020, aku sebenarnya udah melakukan PET scan dan ternyata hasilnya bersih bening seperti tanpa kaca. Namun, sebenarnya, hasil satu kali scan bukan berarti selama-selamanya akan bersih. Beberapa bulan setelah pengobatan selesai, aku harus melakukan PET scan lagi. Tujuannya tak lain tak bukan untuk mengetahui apakah si kanker ini benar-benar udah mati atau hidup lagi.
Berhubung saat itu lagi heboh-hebohnya pandemi, aku pun gak bisa seenak jidat pergi ke Jakarta atau bahkan Malaysia buat check up. Apalagi, saat itu, Malaysia juga sudah memberlakukan sistem lockdown sehingga tidak ada penerbangan menuju Malaysia. Sementara itu, kalau mau ke Jakarta, aku jadi was-was karena kasus COVID-19 di sana cukup tinggi. Khawatirnya, karena baru saja transplantasi sumsum tulang, sistem imunku belum terbentuk sempurna. Apalagi, ketika bulan Agustus 2020, aku mendadak terkena virus flu singapura—virus yang umumnya menyerang bayi dan anak kecil berdaya tahan tubuh rendah.
Dengan anggapan bahwa “aku merasa sehat” dan “aku terlihat sehat”, akhirnya check up pun ditunda. Padahal, apa yang apa yang terjadi itu tidak selalu sesuai dengan apa yang terlihat. Terlebih lagi, kanker bukanlah hal yang bisa dilihat dengan mudah (kecuali udah muncul benjolan atau gejala lainnya). Sel kanker itu sangat, sangat, sangat kecil (makanya kalau mau tahu secara pasti, PET scan harus dilakukan, gak bisa sotoy bisa mastiin ada atau tidaknya). Biasanya, ketika udah banyak, barulah dia bisa kelihatan. Mungkin bisa diibaratkan dengan upil di hidung. Debu yang awalnya sangat kecil mulai menumpuk, semakin lama semakin banyak, bergabung menjadi satu-kesatuan yang terlihat jelas.
Sakit Lagi – Oktober 2020
Baru beberapa bulan merasakan jadi manusia yang sehat walafiat, mimpi buruk kembali terjadi. Gak ada angin gak ada hujan, mendadak aku jadi sering demam. Sebentar meriang (sampai harus pakai baju berlapis-lapis), sebentar lagi merasa panas (sampai rasanya pengen berendam di air es). Selain itu, badan ini juga mulai nyeri-nyeri gak jelas seperti dulu. Intinya, gejala sakit kini terjadi lagi.
Kalau ada yang penasaran, seperti apa, sih, nyeri dari kanker, maka kalau bagi aku pribadi, rasanya itu berkisar di skala 6 hingga 9 (berdasarkan Comparative Pain Scale dengan skala 1-10). Seringnya, nyerinya itu benar-benar bikin aku gak bisa mikir. Cuma bisa berbaring meringkuk, ngolesin balsem tanpa henti, dan itu pun masih sakit. Satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan minum obat pereda nyeri (diclofenac sodium is my best friend!). Kalau gak minum painkiller, artinya ya udah, tahan aja sampai rasa sakitnya perlahan menghilang.
Berdasarkan pengalaman (wuih, sudah expert dalam rasa sakit, ya, bun?), rasa sakitnya ini anehnya dalam beberapa jam bisa menghilang (walau toh ujung-ujungnya nongol lagi). Ya, diambil sisi positifnya aja, at least ada kalanya aku bisa beraktivitas kayak biasa.
PET Scan – Oktober 2020
Karena udah lewat jadwal untuk check up dan tubuh mulai merasakan gejala yang sama seperti dulu, aku pun membuat appointment untuk melakukan PET scan. Kalau mau check up itu harus mastiin dulu apakah ada slot yang tersedia di rumah sakit, jadi bukan tinggal datang seenak jidat. Apalagi, karena dari Pontianak, artinya aku harus mempersiapkan tiket pesawat, penginapan, hingga hasil tes COVID-19 yang waktu itu masih berupa rapid test antibodi.
Akhirnya, pada pertengahan Oktober 2020, bertepatan dengan libur UTS selama seminggu, aku pun pergi check up supaya tidak gabut di rumah. Hasilnya, seperti yang udah kuduga, ditemukan sel kanker baru pada beberapa bagian seperti kelenjar getah bening, paru-paru, peripankreatika, lien (limpa), dan tulang. Oh, pantes, tulang ini sering nyeri dahsyat.
Berhubung aku terakhir kali berobat di Malaysia, aku tak langsung pergi konsultasi ke dokter di Indonesia. Usai berkonsultasi via online dengan dokter yang sebelumnya menanganiku, aku dianjurkan untuk melakukan pengobatan di Indonesia. Akan tetapi, dokter tidak dapat menentukan jenis obat apa yang harus kugunakan. Aku harus melakukan pemeriksaan lanjutan. Soalnya, ada kemungkinan kalau kanker yang baru muncul ini berbeda jenis dari yang sebelumnya (classical hodgkin lymphoma). Dibutuhkan pengambilan sampel dan uji lab untuk menentukan jenis penyakit. Intinya, sama seperti balik ke titik nol.
Langkah Selanjutnya – Oktober 2020-Februari 2021
Pada November 2020, aku mencoba konsultasi online dengan dokter di Indonesia. Hasilnya sama. Usai melihat hasil scan-ku, dokter juga nyaranin aku buat biopsi, baru bisa tahu penanganan selanjutnya. Maklum, satu jenis kanker yang spesifik aja punya obat yang berbeda-beda, apalagi kalau jenis kankernya beda.
Masalahnya, dokter belum bisa mutusin bagian mana yang mau dibiopsi. Biasanya, biopsi itu dilakukan di daerah yang ada benjolan. Nah, saat itu, gak ada benjolan yang kelihatan dan teraba di tubuh. Beda dengan dulu ketika tahun 2019, aku punya benjolan di leher, jadinya dokter tinggal membedah benjolan itu dan mengambilnya untuk dijadiin sampel.
Karena dokter masih ragu dan tak bisa menjawab secara jelas aku bisa dibiopsi di bagian mana, orang tua aku jadi kurang setuju andaikan aku melakukan biopsi di Jakarta. Mungkin gak rela badan anaknya dibelah-belah dibedah-bedah. Soalnya, biopsi yang dilakukan udah pasti jenisnya butuh operasi. Kalau aku pribadi, sih, gak masalah mau diapain (udah pasrah, hehe). Asalkan bisa sembuh aja, I’ll do whatever it takes.
Namun, karena tiada yang bisa dilakukan tanpa restu orang tua dan keluarga (eak), akhirnya kami pun memutuskan untuk mencari alternatif pengobatan. Aku pun mulai meminum obat herbal dengan kandungan yang secara penelitian terbukti mampu untuk menumpas kanker.
Secara ajaib, beberapa hari setelah rutin mengonsumsi obat tersebut, rasa sakitku berkurang dan hilang sama sekali. Begitu juga dengan demam panas-dingin yang menyerang tubuh, semua pergi begitu saja. Meski awalnya aku udah letih dengan pengobatan herbal (selama 2017-2019 minum beragam jenis herbal kagak pernah mempan), aku berusaha untuk positive thinking.
Kenapa berpikiran positif itu penting? Soalnya, apa yang kita pikirkan ternyata secara tak langsung berpengaruh pada kondisi tubuh. Menurut Mental Health UK, orang yang stres berat ternyata 32% lebih berisiko meninggal akibat kanker. Waduh, saya tidak ingin menjadi satu di antara ketiga puluh dua persen itu, kawan-kawanku tercinta.
Intinya, dibandingkan langsung pergi biopsi dan menjalani pengobatan medis, aku akhirnya mencoba memperbaiki kondisi dengan minum obat herbal. Rencananya, beberapa bulan ke depannya, aku akan melakukan pengecekan ulang dengan harapan sel kanker musnah (andaikata obat bekerja).
PET Scan Lagi – Februari 2021
Berhubung udah empat bulan berlalu semenjak PET scan terakhir, aku pun melakukan pengecekan lagi di pertengahan Februari. Mulanya, selama rentang Oktober 2020 hingga awal Februari 2021, aku merasa bahwa kondisi fisikku mulai membaik. Tapi, anehnya, pas aku udah di Jakarta, nyerinya mendadak malah timbul.
Astaga, ini rasanya kayak udah dibawa terbang tinggi, terus dihempasin lagi ke bumi, dimainkan sesuka hati. Aku yang tadinya positif banget langsung jadi mikir: kayaknya si kanker itu gak hilang, deh. Realistis aja. Diri ini udah sering dikecewakan 🙂
Setelah hasil scan keluar, sesuai dugaan, hasilnya gak begitu bagus. Memang, ada satu-dua bagian yang menunjukkan perbaikan, tapi hasilnya kurang lebih sama. Masih ada di paru, tulang, dan area-area lain. Intinya, hasil kali ini cukup jauh dari ekspektasiku pada awalnya. Tapi, ya, mau gimana? Kemoterapi 18 kali langsung ke pembuluh darah ditambah transplantasi sumsum tulang aja enggak menjamin bahwa kanker bakal musnah, apalagi dengan obat herbal yang diminum dan masuk ke pencernaan?
Kali ini, usai PET scan, aku langsung melakukan konsultasi dengan seorang dokter spesialis (dokternya beda dengan yang konsultasi online denganku). Dokter tersebut, sama seperti dokter-dokter lainnya, menyarankanku melakukan biopsi, tapi juga belum tahu bagian mana yang harus dibiopsi.
Selain biopsi, aku juga disarankan untuk melakukan pengecekan sumsum tulang belakang. Soalnya, rentang waktu antara terakhir kali pengobatan dan ketika muncul gejala itu tergolong cukup cepat (hanya dalam beberapa bulan). Ditakutkan, sebenarnya, yang bermasalah di tubuhku itu sumsum tulangnya. Bisa jadi pabriknya udah rusak (sumsum tulang itu kan tempat terbentuknya limfosit), jadinya habis transplantasi, si limfosit yang bermasalah malah terbentuk lagi.
Karena masih belum jelas apakah jenis penyakitku masih limfoma hodgkin atau bukan, jadinya dokter belum bisa membuat rencana pengobatan. Tapi, kalau misalnya memang limfoma hodgkin, aku diharuskan untuk melakukan imunoterapi disertai kemoterapi (belasan sampai puluhan kali) dengan biaya mencapai miliaran rupiah. Mendengar harganya, aku langsung lemasss. Gimana mau berobat, coba?
Solusinya – Februari 2020 sampai sekarang
Mendengar biaya pengobatan yang luar biasa mahalnya, keluargaku jadi merinding dangdut. Untuk sementara itu, aku cuma bisa pulang ke rumah dan melanjutkan pengobatan herbal yang kulakukan. Obat herbalnya juga ditambah (special thanks untuk ortu temenku yang sempat-sempatin beliin aku akar bajakah), dengan harapan kandungan yang melimpah itu bisa menumpas habis sel kanker di tubuh.
Walaupun begitu, aku sebenarnya pengen banget menjalani imunoterapi. Aku yakin, kondisiku bisa jauh lebih membaik denga melakukan pengobatan tersebut. Tapi, lagi-lagi, semua terkendala biaya. Pengobatan setahun lalu udah menguras habis dana yang kami miliki. Maklum, orang tuaku cuma membuka warung kopi di pasar. Ortuku udah mati-matian banting tulang buat ngebiayain pengobatan, tapi biaya yang harus dikeluarkan memang sangat tidak sebanding dengan penghasilan. Kira-kira, gini, nih, perhitungan usaha keluarga kami kalau dianalogikan:
Aku berharap, semoga penggalangan danaku bisa terkumpul sehingga aku tak harus menunda-nunda pengobatan. Aku masih punya harapan tentang masa depan yang lebih baik. Tapi, apa daya, biaya pengobatan yang begitu besar memang membuat semuanya jadi sulit tercapai. Aku harap, aku bisa segera berobat lagi. I’m proud of myself karena selama ini udah berhasil melalui hal yang sulit. Me versus cancer part 2 udah dimulai, so, let’s fight!
Cara Membantu Vivi
Aku percaya, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Buktinya, untuk transplantasi tahun 2020 lalu, ada 8345 orang (dan terus bertambah) yang telah membantuku membiayai pengobatan senilai 600-an juta rupiah. Saat ini, aku masih butuh uluran tangan teman-teman. Sampai saat ini, penggalangan danaku masih dibuka. Aku masih butuh biaya miliaran rupiah untuk imunoterapi. Kalau kamu mau membantuku melawan kanker ini, kamu bisa bantu doa, donasi, dan share-nya ya kawan-kawan~ Thank you so much!
Oh ya, kalo ada yang kangen, ini aku selipin foto, ya! Mohon maap, foto seadanya pas selfie di bandara habis check up Februari 2021, hehehe. Meski saat ini kita masih harus menghadapi pandemi, aku harap teman-teman semua sehat selalu, bisa meraih impian, dan tentunya tetap bahagia! Love y’all!
Semangat