Belakangan ini, apa sih yang menjadi sumber keributan (aduh, bahasanya) dunia? Yup, tepat sekali apa yang ada di pikiran sobat. Tentu kita semua enggak memungkiri kalau virus covid-19 (novel coronavirus 2019) a.k.a. virus corona ini sedang merajalela di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Semenjak Januari (atau mungkin Februari?) saat aku lagi berobat kanker di Malaysia, aku udah was-was dengan virus yang satu ini. Bukannya apa, perjalanan dari Pontianak ke Kuala Lumpur cukup riskan karena covid-19 sedang marak. Pasien kanker punya imunitas yang rendah, jadi ke mana-mana harus super hati-hati dan berharap semoga enggak ada virus yang nyantol ke kita.
Untungnya, selama berobat meskipun harus bolak-balik dua negara ini beberapa kali, aku tetap aman dari yang namanya covid-19. Bahkan, di bulan Maret lalu, ketika aku diwajibkan menjalani tes swab covid-19 ketika tiba di Malaysia, hasilnya negatif.
Pengobatan terakhirku kala itu adalah menjalani transplantasi sumsum tulang. Jangka waktunya cukup lama, sekitar satu bulan, tepatnya sejak Maret hingga April. Setelah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, aku pun berencana pulang ke Indonesia. Perasaan galau sontak menyeruak. Meskipun sudah keluar dari rumah sakit dan hasil cek darah menunjukkan kalau kadar sel darah putihku tergolong normal, aku masih was-was dengan keadaan sekitar. Walaupun begitu, akhirnya aku ‘bantai’ juga pulang ke Pontianak meskipun virus mengancam.
Saking sepinya, aku bisa foto di bandara tanpa perlu takut banyak orang ikut ‘nyempil’ di foto!
Lagi-lagi aku sukses pulang dengan kondisi sehat walafiat dan tetap sehat hingga beberapa minggu setelahnya. Artinya, selama di perjalanan, kami (baca: aku dan ibunda tercinta yang menemaniku berobat) berhasil menghindari si covid-19. Setelah itu, aku mulai menjalani kehidupan seperti biasa. Sampai hari ini (baca: 2 Agustus 2020), aku belum melakukan cek darah sama sekali untuk mencari tahu kadar leukositku.
Sekilas Info Tentang Leukosit:
Bagi teman-teman yang terlalu awam tentang sel darah, di dalam tubuh kita ini ada beberapa jenis sel darah. Salah satunya adalah sel darah putih yang juga disebut leukosit. Leukosit ini berfungsi sebagai kekebalan tubuh kita. Dengan adanya leukosit, tubuh kita terlindungi dari berbagai jenis penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, dan parasit lainnya. Rentang normal leukosit itu berkisar di angka 4.500-11.000 leukosit/mikroliter darah.
Sebagai seseorang yang pernah terkena limfoma (kanker sel darah putih), dulu kadar leukositku di atas normal (karena si sel kanker ini bermula dari sel darah putih tersebut sendiri). Untuk itulah aku melakukan kemoterapi untuk membunuh sel kanker (yang artinya juga membunuh sel darah putihku yang masih sehat). Setelah pengobatan selesai, seharusnya leukositku pun naik lagi ke batas normal. Ya, seharusnya.
Akan tetapi, berdasarkan penelitian, imunitas seseorang yang pernah terkena kanker itu ternyata tidak sama dengan imunitas orang pada umumnya, loh. Berdasarkan data dari Fred Hutch Cancer Research Center, umumnya pasien kanker dianggap akan punya imunitas normal dalam waktu 1-2 bulan setelah selesai pengobatan. Jadi misalkan aku kemarin selesai berobat April, mungkin di bulan Mei atau Juni kondisi sudah normal kembali.
Ternyata, penelitian terbaru menyebutkan bahwa efek kemoterapi bisa mengganggu imunitas setidaknya sampai 9 bulan setelah pengobatan. Bahkan, disebutkan juga bahwa pemulihan leukosit ini hanya mencapai 51-69% saja jika dibandingkan dengan keadaan awal! Artinya enggak bisa maksimal lagi untuk selama-lamanya. Hiks.
Kembali ke Pembicaraan
Intinya supaya kalian semua enggak semakin puyeng, sesungguhnya meskipun aku sudah sembuh, nyatanya imunitasku memang tak akan sekuat dulu (sebelum aku sakit). Meskipun begitu, awalnya aku enggak merasakan perbedaan imunitas ini. Kebanyakan hari-hariku rata-rata dihabiskan di rumah. Karena sekarang covid-19 sedang marak, kuliah juga belum dimulai, maka aku seharian di rumah dan kadang hanya keluar rumah kalau penting. Meskipun aktivitas ini terlihat aman, nyaman, tenteram, dan damai, nyatanya sejak hampir seminggu lalu, AKU MENDADAK KENA VIRUS!!!
Sumpah, dari membaca judul di atas saja, aku merasa sudah seperti seorang vlogger YuTup yang kerjaannya membuat video clickbait dengan thumbnail yang mengundang rasa penasaran, tapi setelah diklik ternyata isinya zonk alias tidak nyambung. Tenang, aku enggak lagi palsu-palsuin isi artikel ini sih. Aku benar-benar kena virus. Lalu, virusnya pun masih menghabiskan waktu dengan kurang ajarnya di dalam tubuhku hingga detik ini.
Kronologi Terkena Virus
Keanehan Pertama
Tepatnya pada hari Selasa, 28 Juli lalu, aku mendadak demam tinggi. Rasanya sudah lama sekali aku enggak demam. Dulu sejak masih di kelas 12 SMA, bisa dibilang saat si cancer ini mulai menginvasi tubuh, aku demam hampir setiap malam. Tipe demam ini menyebalkan banget, karena selain wajah dan seluruh badan rasanya panas, temperatur badan cukup tinggi, aku malah menggigil. Saat demam menyerang, aku jadi mager tingkat tinggi dan hanya 100% rebahan.
Sehari sebelumnya, aku sempat keluar rumah dan terkena rintik gerimis karena cuaca kala itu sedang hujan. Meskipun hanya kontak beberapa detik dengan air hujan, awalnya aku mengira bahwa aku mengalami demam karena hal tersebut. Mungkin sekarang raga ini sudah lebay dalam menghadapi setiap permasalahan (baca: dikit-dikit jatuhnya sakit).
Keanehan Kedua
Besok paginya, di hari Rabu, aku merasa sudah mendingan. Tentunya ini terjadi karena bantuan parasetamol bekerja dengan baik. Masalahnya, ada hal lain yang muncul. Tenggorokanku rasanya sangat tidak enak. Kalau orang tua sih rata-rata bilangnya aku ‘panas dalam’. Sayangnya, tiga bungkus minuman saset berwarna hijau yang diklaim mampu meredakan panas dalam ditambah dengan ramuan herbal antah-berantah yang bokap beli di toko obat tradisional pun tak mempan menghapus perasaan ini. Cie elah.
Selain itu, anehnya, telapak kakiku rasanya kurang nyaman. Saat dicek dengan jeli, tak terlihat ada apa pun. Kirain habis nginjak kerikil atau apalah itu. Ternyata telapak kaki ini bersih bening seperti tanpa kaca. Keanehan semakin merajalela. Tak hanya semakin sakit, di telapak kaki mulai muncul merah-merah enggak jelas. Mau bilang jerawat, tapi bukan. Bisul pun juga bukan. Lalu apakah gerangan yang bersarang di kakiku ini? Pertanyaan berkecamuk di benak. Sayangnya, karena masih tak terlalu kentara, aku agak mengabaikan hal ini.
Keanehan Ketiga
Barulah pada hari Kamis, semuanya amat sangat menggila. Tak hanya telapak kaki, terjadi hal yang sama pada telapak tangan. Ada bintik-bintik merah yang terasa sakit jika disentuh dan kadang juga agak gatal. Bintiknya hanya di telapak, enggak sampai ke seluruh tubuh.
Ini hanya sebagian kecil saja karena ada bagian yang lebih tak enak dilihat 🙂
Awalnya orang tuaku berpikir apakah ini namanya cinta cacar, tapi ternyata beda juga. Ya, sekilas info saja, aku sudah pernah divaksin lengkap sehingga tak pernah merasakan ‘siksaan’ bernama cacar air, api, angin, tanah, atau apa pun itu.
Bukan, bukan elemen seperti ini.
Untungnya, karena di rumah ada si calon dokter a.k.a. abang tercinta yang kuliah kedokteran semester akhir, jadinya aku konsultasi deh. Sesi konsultasi gratisan ini berakhir dengan kenyataan bahwa penyebab kekacauan tubuh ini karena alergi atau dikarenakan oleh virus.
Ciri-Ciri Alergi
Gejalanya yang bikin bentol-bentol merah membuatku terlihat layaknya tokoh antagonis dalam film. Lebih spesifiknya, film ala keluaran stasiun televisi naga terbang yang mengisahkan tentang azab. Lebay. Intinya, bentukan kaki dan tangan ini jelek banget deh dan aku pun semakin mager untuk beraktivitas.
Bukan Alergi!
Karena probabilitas pertama adalah aku terkena alergi, aku diberi obat anti-alergi. Berisikan cetirizine hydrochloride (HCl), obat ini umum digunakan untuk mengatasi gejala alergi. Dosisnya cukup sekali sehari. Sudah dua hari mengonsumsinya, ternyata gejala tak berhenti. Si merah tetap timbul semakin banyak.
Kira-kira seperti ini. Jumlahnya cukup banyak, tapi kupotong supaya tak terlalu mengagetkan 🙂
Selain obat anti-alergi tersebut, aku juga diberi obat antiradang supaya si merah ini tidak merekah semakin parah. Obatnya berjenis dexamethasone yang bisa mengurangi radang, diminum cukup 2 kali sehari. Dulu, aku sudah pernah ‘berteman’ dengan dexamethasone. Seingatku, usai kemoterapi, aku pasti dibekali obat ini. Sayang beribu sayang, lagi-lagi sepertinya obat ini tak berefek pada tubuhku. Buktinya, peradangan masih terus terjadi.
Fix: Ini Virus!
Seperti yang kujelaskan sebelumnya, ada 2 kemungkinan sakit dengan gejala seperti ini. Pertama yakni alergi, bisa disebabkan oleh berbagai hal tanpa kita ketahui (karena seingatku, aku tak punya alergi apa pun). Penyebab kedua, yang lebih memungkinkan, ialah virus.
Tenang, ini bukan virus covid-19 yang sempat kusinggung di bagian awal artikel tadi karena ciri-cirinya cukup berbeda. Mulanya, aku sempat khawatir karena gejala awalnya itu berupa demam dan sakit tenggorokan. Namun, setelah munculnya bintik merah, kecurigaan lebih mengarah ke salah satu jenis sakit yang punya nama cukup keren: flu singapura.
Intermezzo sejenak, ya!
What? Flu Singapura?
Penamaan penyakit ini sebenarnya sedikit ngawur. Meskipun dinamakan flu singapura, penyakit ini bukan disebabkan oleh virus influenza. Bahkan, asalnya pun bukan dari negeri Singapura. Nyatanya, virus ini sudah muncul sejak tahun 1957 di Toronto, Kanada. Asalnya dinamai dengan flu singapura karena pertama kali terjadi lonjakan kasus di Singapura pada tahun 2009. Gejalanya yang agak mirip dengan flu juga membuatnya disebut flu.
Flu singapura dikenal juga sebagai HFMD (Hand-Foot-and-Mouth Disease) atau jika diterjemahkan menjadi Penyakit Kaki, Tangan, dan Mulut. Itu karena penyakit ini menyerang area-area tersebut. Kondisi ini diakibatkan oleh kelompok virus enterovirus dan tak ada vaksin khusus serta obat khusus untuk mengobatinya.
Fakta uniknya, virus ini ditularkan melalui beberapa cara seperti:
Mengonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja penderita.
Komentar: Seriously? Apakah aku sempat makan atau minum suatu hal yang terkontamintasi tinja? Lidahku menangis dalam hening. Aku terdiam sejenak.
Tidak sengaja menghirup percikan air ludah, cairan hidung, atau tenggorokan penderita.
Komentar: Ya, mungkin saja. Siapa tahu, ada orang-orang di sekitarku yang batuk atau bersin, lalu secara tak sadar menyebarkan virus tersebut. Gayung bersambut, si virus mendapat inang yang tepat dan bereplikasi (baca: berkembang biak) dengan bahagia di tubuhku.
Menyentuh benda yang terkontaminasi virus, kemudian menyentuh mata dan hidung, atau memasukkan jari ke dalam mulut.
Komentar: Please, deh. Memasukkan jari ke dalam mulut? Aku tak se-random itu. Selama ini juga jarang makan pakai tangan. Aku adalah tim pecinta sendok-garpu. Bahkan, kalau makan buah pun, aku biasanya memilih menggunakan garpu supaya bisa ditusuk dan tangan jadi tak kotor (wuih, sok bersih).
Selain itu, menyentuh mata dan hidung? Kalau di dalam rumah, mungkin saja aku sedang kesambet ingin mengucek mata yang gatal atau sekadar ngupil. Kalau di luar rumah, sepertinya tidak terjadi. Sekarang sedang marak covid-19, jadinya aku was-was dengan keadaan sekitar dan senantiasa menghindari menyentuh area wajah.
Fakta unik lagi, ternyata flu singapura rentan menyerang anak-anak, terutama bagi bayi dan anak berusia di bawah 5 tahun. Hal tersebut terjadi karena imunitas anak-anak umumnya belum terbentuk maksimal. Intermezzo sedikit nih, jadi bagi yang punya anak kecil atau bahkan baby, jangan suka main cipok sembarangan apalagi kalau sama orang asing, ya, sebab bisa saja terjadi penularan virus. Pernah dengar kasus bayi meninggal hanya gara-gara dicium? Terdengar sepele, tetapi akibatnya bisa fatal.
Kembali ke flu singapura. Meski bisa menyerang anak yang lebih tua serta orang dewasa, umumnya kasus tersebut lebih jarang. Ini karena imunitas orang dewasa sudah terbentuk dengan baik. Terkecuali orang dewasa dengan riwayat penyakit kronis sehingga punya daya tahan tubuh lebih lemah. Oke, aku mengerti. Jadi, mungkin imunitasku saat ini setara dengan balita.
Apa yang Kurasakan Saat Ini?
Hal pertama yang kupikirkan, it’s really annoying. Mau berjalan, eh di telapak kaki (dan jari-jarinya) ada sensasi seperti menginjak kerikil. Mungkin rasanya mirip seperti saat menggunakan sandal relaksasi, bedanya yang ini rasa sakitnya lebih parah. Lalu, mau memegang sesuatu, eh di telapak tangan (dan jari-jarinya) juga sakit. Huhuhu. Untung jemariku masih mampu dipakai beraktivitas, sehingga aku tak perlu mengambil barang dengan gaya ala Unyil.
(Ini dia Unyil bertangan kaku yang anehnya bisa beraktivitas)
Hal kedua, terkadang aku agak melupakan rasa sakit ini (kok kalimatnya rancu, ya?). Maksudnya, kalau hanya duduk atau baring-baring, tentu rasanya cenderung biasa saja. Barulah semuanya menjadi parah jika aku harus berjalan. Sumpah, pengen ngesot saja kalau bisa.
Hal ketiga, aku pasrah. Mau bagaimana lagi? Penyakit ini bisa sembuh dengan sendirinya. Spesifiknya, penyakit ini bisa hilang dalam waktu 2 minggu. Periode dari infeksi awal hingga masa inkubasinya sekitar 3-6 hari. Artinya, dari pertama kali terpapar hingga sejak muncul gejala, kira-kira lamanya seperti itu. Karena hari ini sudah lebih dari 4 hari sejak demam datang mendadak, kuharap virus ini akan enyah sesegera mungkin.
Inti Artikel Ini?
Jangan sepelekan adanya virus. Ada orang yang imunitasnya tinggi sehingga mungkin virus tak akan bereaksi parah di tubuhnya, tapi ada juga yang bisa mengalami kondisi berbahaya akibat virus! Meskipun begitu, jika mendadak ada anak kecil atau orang di sekitarmu yang terkena virus ini, jangan khawatir. Cukup perhatikan kebersihan, jaga imunitas, niscaya tubuh akan pulih dengan sendirinya.
aku kira korona kak hehe..
tetep semangat ya kak. Aku bacanya ikut gimana gitu, tapi penyampaianmu lucu jadi terhibur 🙂
Untungnya bukan korona kok 😀
Thanks udah berkunjung dan nyempetin baca curhatanku yang ga jelas ini ya, hehe..