Finally! Pengambilan stem cell selesai juga.
Untuk teman-teman yang belum tahu, jadi saya baru saja melakukan pengambilan sel dari dalam tubuh yang akan digunakan pada proses transplantasi sumsum tulang nantinya. Hal ini dikarenakan saya menderita kanker darah jenis limfoma yang penyebarannya sudah sampai ke tulang, jadi mau tidak mau harus dilakukan transplantasi. Untuk lebih jelasnya, sobat bisa baca kisah saya di sini.
Cara Mengambil Stem Cell
Dari kemarin-kemarin, saya bertanya-tanya seperti apa itu pengambilan stem cell. Stem cell, atau disebut juga sel punca atau sel induk, merupakan sel yang dapat membelah menjadi sel-sel lain. Lantas, ada di bagian tubuh mana stem cell berada dan bagaimana cara mengambilnya?
Stem cell terletak di sumsum tulang. Awalnya, saya mengira bahwa pada pengambilan stem cell, saya akan dibaringkan di ranjang pasien dalam keadaan telungkup, lalu dokter akan memasukkan jarum superbesar ke tulang belakang saya dan mengambil sel yang dibutuhkan. Persis seperti suntik epidural, yakni salah satu bentuk suntik bius lokal yang digunakan pada persalinan caesar. Untuk ibu-ibu yang pernah melakukannya, boleh bagi-bagi cerita seperti apa rasanya?
Saat saya cari ‘transplantasi sumsum tulang’, muncul gambar seperti ini (untuk pasien leukemia)
Berhubung ibu saya dulu brojolin saya normal, jadinya saya bertanya ke teman saya yang dilahirkan secara caesar. Sakit enggak sih, ditusuk seperti itu? Berdasarkan pengalaman saya ditusuk jarum mungkin sudah ratusan kali, kadang sakit ditusuk itu biasa saja, tetapi kadang juga luar biasa bikin pengin jerit (walaupun saya selalu sok calm saat ditusuk jarum).
Jawaban teman saya yang ibunya notabene wanita-yang-kuat-menahan-rasa-sakit, seperti ini: “Katanya sih sakit banget.”
Mampus.
Saya kembali terngiang biopsi jarum di leher yang sakitnya gila-gilaan. Tanpa bius sama sekali. Suntiknya di bagian benjolan yang keras. Itu pun tidak seperti suntik vaksin di mana jarum tinggal masuk ke kulit sebentar. Biopsi itu cukup lama. Si jarum seperti menari-nari di dalam kulit, mencari sel yang diinginkannya.
Kembali ke proses pengambilan stem cell, saya mendadak tak ingin memikirkannya lagi. Biarkanlah nanti baru saya jalani ketika saatnya tiba. Lagipula, sesulit atau sesakit apa pun cara yang harus ditempuh, toh harus dilakukan juga, bukan? Apalah artinya sakit sebentar jika itu bisa membawa kita pada kesembuhan?
Sebelum Sibuk dengan Stem Cell, Kemoterapi Dulu
Kemoterapi kedua pun akhirnya tiba. Setelah kemoterapi kedua, rencananya saya memang akan segera melakukan pengambilan stem cell. Tanggal 6 Februari, saya mulai kemoterapi lagi. Kali ini tidak menggunakan kombinasi obat ICE, tetapi cytarabine dan carboplatin. Untuk sobat yang ingin tahu lebih lanjut tentang obat-obat limfoma, bisa baca di sini.
Seperti biasa, saat kemoterapi, suster dan dokter kesulitan mencari pembuluh darah yang dapat digunakan sebagai jalan masuknya obat. Selain pembuluh yang memang aslinya sudah halus, saya sudah menjalani kemoterapi belasan kali, sehingga banyak yang sulit untuk digunakan kembali. Belum lagi, selagi kemoterapi, biasanya darah akan diambil untuk dicek, dan itu pun bisa berkali-kali. Sampai-sampai nurses yang menangani saya selalu saja meminta maaf saat gagal mengambil darah. Saya yang ditusuk, mereka yang sedih. Padahal, saya sudah bilang berkali-kali, tidak apa-apa. Ya mau bagaimana lagi?
Untungnya, selain drama pengambilan darah yang sulit, kemoterapi berjalan lancar. Pada tanggal 8 Februari, saya sudah dibolehkan keluar rumah sakit. Dokter pun menjelaskan rencana lanjutan untuk persiapan pengambilan stem cell. Prosesnya bukan mau ambil langsung tinggal ambil. Harus ada timing yang pas. Di saat sel darah saya menurun, saya akan disuntikkan obat yang dapat mengatur produksi neutrofil di sumsum tulang. Nah, saat darah saya naik, di situlah biasanya terdapat banyak stem cell yang bisa diambil dari tubuh.
Persiapan Pengambilan Stem Cell
Tanggal 13 Februari, saya melakukan pengecekan darah lagi, dilanjutkan dengan penyuntikan obat filgrastim (si penaik leukosit) di area perut. Begitu pula keesokan harinya, dan esoknya lagi-lagi saya disuntik obat ini. Sakit di perut, sakit juga di dompet, karena obat 0,5 mL ini harga sebatangnya saja mencapai beberapa ratus ribu rupiah.
Ini dia obat yang sudah saya suntik puluhan kali ke perut 🙂
Tiga hari berturut-turut disuntik, keesokan harinya saya sudah bisa masuk rumah sakit. Lo, kok begitu?
Jadi, sebelum pengambilan stem cell dilakukan, kondisi kesehatan saya harus terus dipantau. Tepat tanggal 16 Februari, saya mulai baring-baring cantik di ranjang rumah sakit. Setelah darah diambil lewat kaki (karena tangan saya sudah tak jelas lagi bisa ditusuk di mana), dan hasil darah keluar, ternyata trombosit saya terlalu rendah. Malam harinya, transfusi trombosit dilakukan. Sempat ada drama alergi juga, tetapi untungnya berlangsung hanya beberapa jam.
Besoknya, pada 17 Februari, saya melakukan transfusi lagi. Kali ini transfusi darah merah karena jumlahnya terlalu sedikit. Kalau terlalu sedikit, pengambilan stem cell tidak bisa dilakukan. Sebanyak 338ml eritrosit pun sukses masuk ke tubuh saya. Terima kasih untuk pendonor misterius yang mendonorkan darahnya secara sukarela ke bank darah Malaysia sana. Darahmu sudah terpakai, Pak, Bu, Kak, Dik, siapa pun engkau.
[Intermezzo sedikit. Berapa banyak di antara kita yang sehat dan sudah pernah melakukan donor darah? Tahukah sobat, donor darah itu tidak hanya dilakukan saat ada event donor darah massal? Kita tinggal mengunjungi UDD (Unit Donor Darah) terdekat yang buka 24 jam. Selain gratis, membuat tubuh lebih sehat karena regenerasi darah, tentunya setiap tetes darah yang didonorkan akan sangat bermanfaat bagi orang-orang sakit!]
Selama tanggal 16, 17, dan 18, saya kembali ditusuk obat penaik leukosit sebanyak dua batang per hari. Setiap hari juga dilakukan pengecekan darah. Barulah dokter memutuskan bahwa saya bisa mengambil stem cell pada tanggal 19 Februari. Salah satu perawat pun berkata pada saya, nanti ambil stem cell-nya pakai jarum besar.
Jarum besar.
Jarum.
Besar.
What?! Ingin saya bertanya jarum besar itu maksudnya apa, tapi nurse sudah keburu pergi. Saya pun hanya bisa membiarkan jantung saya kembang kuncup memikirkan bagaimana cara mengambil sel. Apa benar seperti yang saya pikirkan waktu itu? Jarum besar ditusukkan di tulang belakang?
Ah, mending tidur saja, deh. Lagipula, besoknya saya pasti akan tahu.
Pemasangan Kateter
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. 19 Februari, saya terbangun dan beraktivitas seperti biasa. Menunggu sarapan rumah sakit tiba, makan secukupnya, mandi, gosok gigi, tetapi tidak membersihkan tempat tidurku, dan tak lupa menggunakan pakaian pasien rumah sakit yang seperti gaun menjuntai (saat kemoterapi saya memang hanya menggunakan pakaian biasa).
Setelah selesai berpakaian, saya pun rebahan di ranjang pasien. Petugas pun membawa kabur saya ke ruang operasi untuk pemasangan kateter (yang sebelumnya disebut ‘jarum besar’ oleh perawat).
Ternyata, stem cell saya diambil bukan melalui suntikan raksasa di bagian punggung (tulang belakang), melainkan menggunakan kateter (selang tipis yang dimasukkan ke dalam tubuh). Kateter yang digunakan sama seperti yang dipakai saat cuci darah (hemodialisis). Kateter vena utama digunakan untuk hemodialisis ini, dan dimasukkan ke dalam pembuluh darah. Ada satu bagian yang dapat mengeluarkan darah dari dalam tubuh, sementara satunya lagi mengalirkan darah dari mesin ke tubuh.
Proses operasi secara keseluruhan mulai dari saya didorong masuk ke ruangan hingga keluar lagi memang mencapai satu jam, tetapi proses memasukkan kateter sendiri hanya sekitar 10-15 menit. Kateter tersebut dimasukkan ke dekat leher, tepatnya di atas tulang belikat.
Pertama-tama, USG dilakukan untuk mengidentifikasi pembuluh darah terbesar di tubuh. Enggak lucu, ‘kan, kateternya sudah masuk tapi malah salah alamat. Jadi, setelah USG, lubang kecil akan dibuat untuk menjangkau pembuluh darah. Tabung dimasukkan dan didorong ke arah dada.
Berhubung hanya dilakukan bius lokal, saya bisa merasakan saat si tabung masuk ke tubuh. Mungkin seperti benang yang dimasukkan ke jarum. Rasanya tidak sakit (tentu saja karena sudah dibius). Sebelumnya, saya sempat harap-harap cemas mendengar kata bius. Dulu, saya juga pernah bius lokal saat biopsi bedah di leher, tapi sakitnya masih terasa. Bukan sakit pascaoperasi, namun saat operasi, leher benar-benar terasa seperti dikikis. Untungnya, kali ini proses pemasangan kateter berlangsung damai.
Setelah semuanya selesai, saya dibawa ke ruang penyinaran. Bukan disinari supaya shining shimmering splendid, tetapi bagian atas tubuh saya disinari dengan x-ray. Mungkin supaya bisa dilihat kateternya terpasang dengan benar atau tidak. Akhirnya, proses ini pun selesai.
Stem Cell, Muncullah! (Summonning stem cell)
Proses pengambilan stem cell dimulai. Caranya seperti cuci darah biasa (walau saya belum pernah cuci darah dan tak mengerti juga tentang alurnya).
Saya rebah di ranjang pasien. Seperti biasa, kondisi tubuh saya mulai dari tekanan darah, tingkat oksigen, hingga suhu tubuh dicek. Dokter sibuk berkutat dengan mesin dan kateter di leher saya. Saat proses berlangsung, darah dari tubuh saya mengalir keluar, diproses di mesin, dan masuk kembali ke tubuh.
Efek samping berupa kesemutan di tangan dan kaki saya rasakan. Ternyata, saat darah keluar dari tubuh dalam jumlah yang cukup banyak, kalsium di tubuh ikut terambil, sehingga menimbulkan kebas pada tubuh. Namun, selain itu, tidak ada masalah yang saya alami.
Selama kurang lebih tiga jam, akhirnya saya terbebas dari ruang pengambilan stem cell. Saya pun kembali ke kamar pasien yang terletak tak jauh dari ruang tersebut. Selesai. Tamat. The end.
Oh udah, gini aja?
Habis Manis Sepah Dibuang
Memang, sebenarnya seperti ini saja pengambilan stem cell. Tidak lebay, tidak sakit. Saat diambil, saya juga bebas bermain telepon genggam. Sempat juga duduk untuk makan siang meskipun terasa tidak nyaman (karena ada kateter di leher, untuk menggerakkan leher sedikit saja pun jadi sulit).
Usai stem cell diambil, saya belum bebas merdeka. Kateter yang masih terpasang di leher membuat saya frustasi. Karena kateter tidak dipakai lagi, jadi direkatkan menggunakan lakban perekat, kassa, plester, atau apalah itu. Perekat yang digunakan menjangkau area leher yang luas, sehingga jadinya leher saya malah terasa ketarik. Jadinya, leher saya miring, dan jujur itu sungguh amat sangat pegal banget. Saya lebih frustasi ada kateter beberapa jam di leher daripada infus di tangan berhari-hari.
Akhirnya, setelah menunggu semalaman, esok paginya kateter baru dilepas. Dokter yang menangani saya mengatakan, proses pelepasan ini tidak sakit, tidak seperti saat pemasangan (yang saya anggap tak sakit karena dibius).
Entah apa yang merasukimu definisi ‘terasa sakit’ oleh sang dokter, karena ternyata proses pelepasan ini lebih lebay dari yang saya pikirkan. Bagian sayatan kecil di tubuh harus ditekan kuat-kuat agar darah tak keluar, begitu juga dengan area sekitar sayatan yang harus dibersihkan menggunakan alkohol karena berdarah. Saat leher ditekan, rasanya saya ikut-ikutan tercekik. Dokter sampai bertanya beberapa kali apa saya bisa bernapas.
Sedikit drama lagi, darah saya sempat keluar hingga terkena baju. Meski sebenarnya kepo ingin melihat proses pengambilan kateter tersebut, nyatanya saya hanya terdiam seperti patung, menatap kosong ke langit-langit kamar, jam dinding, dan televisi. Padahal, tangan kiri saya sudah ‘gatal’ ingin mengambil cermin. Ingin ikut menyaksikan prosesnya.
Setelah kateter diambil dan leher ditutup dengan nonwoven wound dressing, saya masih harus berbaring selama 20 menit. Tak diperbolehkan bermain telepon, karena pergerakan tangan ditakutkan berpengaruh pada si luka. Saya juga masih dianjurkan berbaring sekitar 2 jam (walau sebenarnya saya memang anak rebah).
Beberapa jam berlalu, saya pun bebas. Tak ada lagi kepala pegal. Dokter pun mengabarkan berita baik. Dari jumlah minimal stem cell yang dibutuhkan (sebanyak 3 juta sel), saya dapat mengumpulkan sel sebanyak 16 juta. Total yang jauh lebih banyak. Padahal, awalnya kami sudah harap-harap cemas apakah ada stem cell yang muncul.
Jutaan orang tidak menyadari sel tersebut pun disimpan dengan aman. Sampai jumpa lagi stem cell di proses transplantasi nanti!
Semoga cepat sembuh ya! Semangat! Tuhan pasti bantu kesembuhan kamu.
Terima kasih ya! 🙂
Saya sebagai guru biologi sangat senang membaca tulisanmu kak. Saya jadi lebih tau proses pengambilan sel punca. Terimakasih telah menambah wawasan saya. Semoga anda lekas sembuh dan tetap sehat.
Terima kasih, semoga infonya bermanfaat 🙂